Selasa, 29 November 2011

Perkembangan Hukum Islam Dalam Sejarah

Perkembangan Hukum Islam Dalam Sejarah
Bagian I
PENDAHULUAN
  1. A. Latar Belakang Masalah
Tidak dapat dipungkiri bahwa umat Islam di Indonesia adalah unsur paling mayoritas. Dalam tataran dunia Islam internasional, umat Islam Indonesia bahkan dapat disebut sebagai komunitas muslim paling besar yang berkumpul dalam satu batas teritorial kenegaraan.
Karena itu, menjadi sangat menarik untuk memahami alur perjalanan sejarah hukum Islam di tengah-tengah komunitas Islam terbesar di dunia itu. Pertanyaan-pertanyaan seperti seberapa jauh pengaruh kemayoritasan kaum muslimin Indonesia itu terhadap penerapan hukum Islam di Tanah Air ? Maka dapat dijawab dengan memaparkan sejarah hukum Islam sejak komunitas muslim hadir di Indonesia. Di samping itu, kajian tentang sejarah hukum Islam di Indonesia juga dapat dijadikan sebagai salah satu pijakan bagi umat Islam secara khusus untuk menentukan strategi yang tepat di masa depan dalam mendekatkan dan “mengakrabkan” bangsa ini dengan hukum Islam. Proses sejarah hukum Islam yang diwarnai “benturan” dengan tradisi yang sebelumnya berlaku dan juga dengan kebijakan-kebijakan politik-kenegaraan, serta tindakan-tindakan yang diambil oleh para tokoh Islam Indonesia terdahulu setidaknya dapat menjadi bahan telaah penting di masa datang. Setidaknya, sejarah itu menunjukkan bahwa proses Islamisasi sebuah masyarakat bukanlah proses yang dapat selesai seketika.
  1. B. Maksud dan Tujuan
Selain untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Islam yang ada di pada Fakultas Hukum Universitas Langlangbuana, yang kemudian penulisan makalah ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan serta dapat dan bisa memeberikan manfaat baik untuk almamater perguruan tinggi maupun bagi dunia ilmu pengetahuan pada umumnya. walaupun tulisan ini tidak dapat menguraikan secara lengkap dan detail setiap rincian sejarah hukum Islam di Tanah air, namun setidaknya apa akan Penulis paparkan di sini dapat memberikan gambaran tentang perjalanan hukum Islam, sejak awal kedatangan agama ini ke bumi Indonesia hingga di era reformasi ini.
  1. C. Identifikasi Masalah
Tidak dapat dipungkiri bahwa umat Islam di Indonesia adalah unsur paling mayoritas. Dalam tataran dunia Islam internasional, umat Islam Indonesia bahkan dapat disebut sebagai komunitas muslim paling besar yang berkumpul dalam satu batas teritorial kenegaraan.
Dari hal-hal yang telah diuraikan dalam latar belakang tersebut diatas maka ada beberapa pengidentifikasian masalah mengenai hal itu yaitu bagaimana perkembangan serta keberadaan Hukum Islam pada :
  1. Masa Prapenjajahan Belanda
  2. Masa Penjajahan Belanda
  3. Masa Pendudukan Jepang
  4. Masa Kemerdekaan (1945)
  5. Era Orde Lama dan Orde Baru
  6. Era Reformasi
Bagian II
PEMBAHASAN
Hukum Islam pada Masa Pra Penjajahan Belanda
Akar sejarah hukum Islam di kawasan nusantara menurut sebagian ahli sejarah dimulai pada abad pertama hijriyah, atau pada sekitar abad ketujuh dan kedelapan masehi. Sebagai gerbang masuk ke dalam kawasan nusantara, kawasan utara pulau Sumatera-lah yang kemudian dijadikan sebagai titik awal gerakan dakwah para pendatang muslim. Secara perlahan, gerakan dakwah itu kemudian membentuk masyarakat Islam pertama di Peureulak, Aceh Timur. Berkembangnya komunitas muslim di wilayah itu kemudian diikuti oleh berdirinya kerajaan Islam pertama di Tanah air pada abad ketiga belas. Kerajaan ini dikenal dengan nama Samudera Pasai. Ia terletak di wilayah Aceh Utara.
Pengaruh dakwah Islam yang cepat menyebar hingga ke berbagai wilayah nusantara kemudian menyebabkan beberapa kerajaan Islam berdiri menyusul berdirinya Kerajaan Samudera Pasai di Aceh. Tidak jauh dari Aceh berdiri Kesultanan Malaka, lalu di pulau Jawa berdiri Kesultanan Demak, Mataram dan Cirebon, kemudian di Sulawesi dan Maluku berdiri Kerajaan Gowa dan Kesultanan Ternate serta Tidore.
Kesultanan-kesultanan tersebut sebagaimana tercatat dalam sejarah, itu tentu saja kemudian menetapkan hukum Islam sebagai hukum positif yang berlaku. Penetapan hukum Islam sebagai hukum positif di setiap kesultanan tersebut tentu saja menguatkan pengamalannya yang memang telah berkembang di tengah masyarakat muslim masa itu. Fakta-fakta ini dibuktikan dengan adanya literatur-literatur fiqh yang ditulis oleh para ulama nusantara pada sekitar abad 16 dan 17. Dan kondisi terus berlangsung hingga para pedagang Belanda datang ke kawasan nusantara.

Hukum Islam pada Masa Penjajahan Belanda
Cikal bakal penjajahan Belanda terhadap kawasan nusantara dimulai dengan kehadiran Organisasi Perdagangan Dagang Belanda di Hindia Timur, atau yang lebih dikenal dengan VOC. Sebagai sebuah organisasi dagang, VOC dapat dikatakan memiliki peran yang melebihi fungsinya. Hal ini sangat dimungkinkan sebab Pemerintah Kerajaan Belanda memang menjadikan VOC sebagai perpanjangtangannya di kawasan Hindia Timur. Karena itu disamping menjalankan fungsi perdagangan, VOC juga mewakili Kerajaan Belanda dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan. Tentu saja dengan menggunakan hukum Belanda yang mereka bawa.
Dalam kenyataannya, penggunaan hukum Belanda itu menemukan kesulitan. Ini disebabkan karena penduduk pribumi berat menerima hukum-hukum yang asing bagi mereka. Akibatnya, VOC pun membebaskan penduduk pribumi untuk menjalankan apa yang selama ini telah mereka jalankan.
Kaitannya dengan hukum Islam, dapat dicatat beberapa “kompromi” yang dilakukan oleh pihak VOC, yaitu:
-         Dalam Statuta Batavia yag ditetapkan pada tahun 1642 oleh VOC, dinyatakan bahwa hukum kewarisan Islam berlaku bagi para pemeluk agama Islam.
-         Adanya upaya kompilasi hukum kekeluargaan Islam yang telah berlaku di tengah masyarakat. Upaya ini diselesaikan pada tahun 1760. Kompilasi ini kemudian dikenal dengan Compendium Freijer.
-         Adanya upaya kompilasi serupa di berbagai wilayah lain, seperti di Semarang, Cirebon, Gowa dan Bone.
Di Semarang, misalnya, hasil kompilasi itu dikenal dengan nama Kitab Hukum Mogharraer (dari al-Muharrar). Namun kompilasi yang satu ini memiliki kelebihan dibanding Compendium Freijer, dimana ia juga memuat kaidah-kaidah hukum pidana Islam.
Pengakuan terhadap hukum Islam ini terus berlangsung bahkan hingga menjelang peralihan kekuasaan dari Kerajaan Inggris kepada Kerajaan Belanda kembali. Setelah Thomas Stanford Raffles menjabat sebagai gubernur selama 5 tahun (1811-1816) dan Belanda kembali memegang kekuasaan terhadap wilayah Hindia Belanda, semakin nampak bahwa pihak Belanda berusaha keras mencengkramkan kuku-kuku kekuasaannya di wilayah ini. Namun upaya itu menemui kesulitan akibat adanya perbedaan agama antara sang penjajah dengan rakyat jajahannya, khususnya umat Islam yang mengenal konsep dar al-Islam dan dar al-harb. Itulah sebabnya, Pemerintah Belanda mengupayakan ragam cara untuk menyelesaikan masalah itu. Diantaranya dengan (1) menyebarkan agama Kristen kepada rakyat pribumi, dan (2) membatasi keberlakuan hukum Islam hanya pada aspek-aspek batiniah (spiritual) saja.
Bila ingin disimpulkan, maka upaya pembatasan keberlakuan hukum Islam oleh Pemerintah Hindia Belanda secara kronologis adalah sebagai berikut :
—        Pada pertengahan abad 19, Pemerintah Hindia Belanda melaksanakan Politik Hukum yang Sadar; yaitu kebijakan yang secara sadar ingin menata kembali dan mengubah kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda.
—        Atas dasar nota disampaikan oleh Mr. Scholten van Oud Haarlem, Pemerintah Belanda menginstruksikan penggunaan undang-undang agama, lembaga-lembaga dan kebiasaan pribumi dalam hal persengketaan yang terjadi di antara mereka, selama tidak bertentangan dengan asas kepatutan dan keadilan yang diakui umum. Klausa terakhir ini kemudian menempatkan hukum Islam di bawah subordinasi dari hukum Belanda.
—        Atas dasar teori resepsi yang dikeluarkan oleh Snouck Hurgronje, Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1922 kemudian membentuk komisi untuk meninjau ulang wewenang pengadilan agama di Jawa dalam memeriksa kasus-kasus kewarisan (dengan alasan, ia belum diterima oleh hukum adat setempat).
—        Pada tahun 1925, dilakukan perubahan terhadap Pasal 134 ayat 2 Indische Staatsregeling  (yang isinya sama dengan Pasal 78 Regerringsreglement), yang intinya perkara perdata sesama muslim akan diselesaikan dengan hakim agama Islam jika hal itu telah diterima oleh hukum adat dan tidak ditentukan lain oleh sesuatu ordonasi.
Lemahnya posisi hukum Islam ini terus terjadi hingga menjelang berakhirnya kekuasaan Hindia Belanda di wilayah Indonesia pada tahun 1942.
Hukum Islam pada Masa Pendudukan Jepang
Setelah Jendral Ter Poorten menyatakan menyerah tanpa syarat kepada panglima militer Jepang untuk kawasan Selatan pada tanggal 8 Maret 1942, segera Pemerintah Jepang mengeluarkan berbagai peraturan. Salah satu diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942, yang menegaskan bahwa Pemerintah Jepag meneruskan segala kekuasaan yang sebelumnya dipegang oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda. Ketetapan baru ini tentu saja berimplikasi pada tetapnya posisi keberlakuan hukum Islam sebagaimana kondisi terakhirnya di masa pendudukan  Belanda.
Meskipun demikian, Pemerintah Pendudukan Jepang tetap melakukan berbagai kebijakan untuk menarik simpati umat Islam di Indonesia. Diantaranya adalah:
-         Janji Panglima Militer Jepang untuk melindungi dan memajukan Islam sebagai agama mayoritas penduduk pulau Jawa.
-         Mendirikan Shumubu (Kantor Urusan Agama Islam) yang dipimpin oleh bangsa Indonesia sendiri.
-         Mengizinkan berdirinya ormas Islam, seperti Muhammadiyah dan NU.
-         Menyetujui berdirinya Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) pada bulan oktober 1943.
-         Menyetujui berdirinya Hizbullah sebagai pasukan cadangan yang mendampingi berdirinya PETA.
-         Berupaya memenuhi desakan para tokoh Islam untuk mengembalikan kewenangan Pengadilan Agama dengan meminta seorang ahli hukum adat, Soepomo, pada bulan Januari 1944 untuk menyampaikan laporan tentang hal itu. Namun upaya ini kemudian “dimentahkan” oleh Soepomo dengan alasan kompleksitas dan menundanya hingga Indonesia merdeka
Dengan demikian, nyaris tidak ada perubahan berarti bagi posisi hukum Islam selama masa pendudukan Jepang di Tanah air. Namun bagaimanapun juga, masa pendudukan Jepang lebih baik daripada Belanda dari sisi adanya pengalaman baru bagi para pemimpin Islam dalam mengatur masalah-masalah keagamaan. Abikusno Tjokrosujoso menyatakan bahwa, Kebijakan pemerintah Belanda telah memperlemah posisi Islam. Islam tidak memiliki para pegawai di bidang agama yang terlatih di masjid-masjid atau pengadilan-pengadilan Islam. Belanda menjalankan kebijakan politik yang memperlemah posisi Islam. Ketika pasukan Jepang datang, mereka menyadari bahwa Islam adalah suatu kekuatan di Indonesia yang dapat dimanfaatkan.
Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan (1945)
Meskipun Pendudukan Jepang memberikan banyak pengalaman baru kepada para pemuka Islam Indonesia, namun pada akhirnya, seiring dengan semakin lemahnya langkah strategis Jepang memenangkan perang yang kemudian membuat mereka membuka lebar jalan untuk kemerdekaan Indonesia, Jepang mulai mengubah arah kebijakannya. Mereka mulai “melirik” dan memberi dukungan kepada para tokoh-tokoh nasionalis Indonesia. Dalam hal ini, nampaknya Jepang lebih mempercayai kelompok nasionalis untuk memimpin Indonesia masa depan. Maka tidak mengherankan jika beberapa badan dan komite negara, seperti Dewan Penasehat (Sanyo Kaigi) dan BPUPKI (Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai) kemudian diserahkan kepada kubu nasionalis. Hingga Mei 1945, komite yang terdiri dari 62 orang ini, paling hanya 11 diantaranya yang mewakili kelompok Islam. Atas dasar itulah, Ramly Hutabarat menyatakan bahwa BPUPKI “bukanlah badan yang dibentuk atas dasar pemilihan yang demokratis, meskipun Soekarno dan Mohammad Hatta berusaha agar aggota badan ini cukup representatif mewakili berbagai golonga dalam masyarakat Indonesia”.
Perdebatan panjang tentang dasar negara di BPUPKI kemudian berakhir dengan lahirnya apa yang disebut dengan Piagam Jakarta. Kalimat kompromi paling penting Piagam Jakarta terutama ada pada kalimat “Negara berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Menurut Muhammad Yamin kalimat ini menjadikan Indonesia merdeka bukan sebagai negara sekuler dan bukan pula negara Islam.
Dengan rumusan semacam ini sesungguhnya lahir sebuah implikasi yang mengharuskan adanya pembentukan undang-undang untuk melaksanakan Syariat Islam bagi para pemeluknya. Tetapi rumusan kompromis Piagam Jakarta itu akhirnya gagal ditetapkan saat akan disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI. Ada banyak kabut berkenaan dengan penyebab hal itu. Tapi semua versi mengarah kepada Mohammad Hatta yang menyampaikan keberatan golongan Kristen di Indonesia Timur. Hatta mengatakan ia mendapat informasi tersebut dari seorang opsir angkatan laut Jepang pada sore hari taggal 17 Agustus 1945. Namun Letkol Shegeta Nishijima satu-satunya opsir AL Jepang yang ditemui Hatta pada saat itu- menyangkal hal tersebut. Ia bahkan menyebutkan justru Latuharhary yang menyampaikan keberatan itu. Keseriusan tuntutan itu lalu perlu dipertanyakan mengingat Latuharhary bersama dengan Maramis, seorang tokoh Kristen dari Indonesia Timur lainnya- telah menyetujui rumusan kompromi itu saat sidang BPUPKI.
Pada akhirnya, di periode ini, status hukum Islam tetaplah samar-samar. Isa Ashary mengatakan, kejadian mencolok mata sejarah ini dirasakan oleh umat Islam sebagai suatu ‘permainan sulap’ yang masih diliputi kabut rahasia…suatu politik pengepungan kepada cita-cita umat Islam.
Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan Periode Revolusi Hingga Keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1950. Selama hampir lima tahun setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia memasuki masa-masa revolusi (1945-1950). Menyusul kekalahan Jepang oleh tentara-tentara sekutu, Belanda ingin kembali menduduki kepulauan Nusantara. Dari beberapa pertempuran, Belanda berhasil menguasai beberapa wilayah Indonesia, dimana ia kemudian mendirikan negara-negara kecil yang dimaksudkan untuk mengepung Republik Indonesia. Berbagai perundingan dan perjanjian kemudian dilakukan, hingga akhirnya tidak lama setelah Linggarjati, lahirlah apa yang disebut dengan Konstitusi Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949.
Dengan berlakunya Konstitusi RIS tersebut, maka UUD 1945 dinyatakan berlaku sebagai konstitusi Republik Indonesia yang merupakan satu dari 16 bagian negara Republik Indonesia Serikat.
Konstitusi RIS sendiri jika ditelaah, sangat sulit untuk dikatakan sebagai konstitusi yang menampung aspirasi hukum Islam. Mukaddimah Konstitusi ini misalnya, samasekali tidak menegaskan posisi hukum Islam sebagaimana rancangan UUD 1945 yang disepakati oleh BPUPKI. Demikian pula dengan batang tubuhnya, yang bahkan dipengaruhi oleh faham liberal yang berkembang di Amerika dan Eropa Barat, serta rumusan Deklarasi HAM versi PBB.
Namun saat negara bagian RIS pada awal tahun 1950 hanya tersisa tiga negara saja RI, negara Sumatera Timur, dan negara Indonesia Timur, salah seorang tokoh umat Islam, Muhammad Natsir, mengajukan apa yang kemudian dikenal sebagai “Mosi Integral Natsir” sebagai upaya untuk melebur ketiga negara bagian tersebut. Akhirnya, pada tanggal 19 Mei 1950, semuanya sepakat membentuk kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Proklamasi 1945. Dan dengan demikian, Konstitusi RIS dinyatakan tidak berlaku, digantikan dengan UUD Sementara 1950. Akan tetapi, jika dikaitkan dengan hukum Islam, perubahan ini tidaklah membawa dampak yang signifikan. Sebab ketidakjelasan posisinya masih ditemukan, baik dalam Mukaddimah maupun batang tubuh UUD Sementara 1950, kecuali pada pasal 34 yang rumusannya sama dengan pasal 29 UUD 1945, bahwa “Negara berdasar Ketuhanan yang Maha Esa” dan jaminan negara terhadap kebebasan setiap penduduk menjalankan agamanya masing-masing. Juga pada pasal 43 yang menunjukkan keterlibatan negara dalam urusan-urusan keagamaan. Kelebihan lain dari UUD Sementara 1950 ini adalah terbukanya peluang untuk merumuskan hukum Islam dalam wujud peraturan dan undang-undang. Peluang ini ditemukan dalam ketentuan pasal 102 UUD sementara 1950. Peluang inipun sempat dimanfaatkan oleh wakil-wakil umat Islam saat mengajukan rancangan undang-undang tentang Perkawinan Umat Islam pada tahun 1954. Meskipun upaya ini kemudian gagal akibat “hadangan” kaum nasionalis yang juga mengajukan rancangan undang-undang Perkawinan Nasional. Dan setelah itu, semua tokoh politik kemudian nyaris tidak lagi memikirkan pembuatan materi undang-undang baru, karena konsentrasi mereka tertuju pada bagaimana mengganti UUD Sementara 1950 itu dengan undang-undang yang bersifat tetap.
Perjuangan mengganti UUD Sementara itu kemudian diwujudkan dalam Pemilihan Umum untuk memilih dan membentuk Majlis Konstituante pada akhir tahun 1955. Majelis yang terdiri dari 514 orang itu kemudian dilantik oleh Presiden Soekarno pada 10 November 1956. Namun delapan bulan sebelum batas akhir masa kerjanya, Majlis ini dibubarkan melalui Dekrit Presiden yang dikeluarkan pada tanggal 5 Juli 1959. Hal penting terkait dengan hukum Islam dalam peristiwa Dekrit ini adalah konsiderannya yang menyatakan bahwa “Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni menjiwai UUD 1945” dan merupakan “suatu kesatuan dengan konstitusi tersebut”. Hal ini tentu saja mengangkat dan memperjelas posisi hukum Islam dalam UUD, bahkan menurut Anwar Harjono lebih dari sekedar sebuah “dokumen historis”.
Namun bagaiamana dalam tataran aplikasi? Lagi-lagi faktor-faktor politik adalah penentu utama dalam hal ini. Pengejawantahan kesimpulan akademis ini hanya sekedar menjadi wacana jika tidak didukung oleh daya tawar politik yang kuat dan meyakinkan.
Hal lain yang patut dicatat di sini adalah terjadinya beberapa pemberontakan yang diantaranya “bernuansakan” Islam dalam fase ini. Yang paling fenomenal adalah gerakan DI/TII yang dipelopori oleh Kartosuwirjo dari Jawa Barat. Kartosuwirjo sesungguhnya telah memproklamirkan negara Islamnya pada tanggal 14 Agustus 1945, atau dua hari sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Namun ia melepaskan aspirasinya untuk kemudian bergabung dengan Republik Indonesia. Tetapi ketika kontrol RI terhadap wilayahnya semakin merosot akibat agresi Belanda, terutama setelah diproklamirkannya Negara boneka Pasundan di bawah kontrol Belanda, ia pun memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia pada tahun 1948. Namun pemicu konflik yang berakhir di tahun 1962 dan mencatat 25.000 korban tewas itu, menurut sebagian peneliti, lebih banyak diakibatkan oleh kekecewaan Kartosuwirjo terhadap strategi para pemimpin pusat dalam mempertahankan diri dari upaya pendudukan Belanda kembali, dan bukan atas dasar apa yang mereka sebut dengan “kesadaran teologis-politis”nya.
Hukum Islam di Era Orde Lama dan Orde Baru
Mungkin tidak terlalu keliru jika dikatakan bahwa Orde Lama adalah eranya kaum nasionalis dan komunis. Sementara kaum muslim di era ini perlu sedikit merunduk dalam memperjuangkan cita-citanya. Salah satu partai yang mewakili aspirasi umat Islam kala itu, Masyumi harus dibubarkan pada tanggal 15 Agustus 1960 oleh Soekarno, dengan alasan tokoh-tokohnya terlibat pemberontakan (PRRI di Sumatera Barat). Sementara NU –yang kemudian menerima Manipol Usdek-nya Soekarno[27]- bersama dengan PKI dan PNI kemudian menyusun komposisi DPR Gotong Royong yang berjiwa Nasakom. Berdasarkan itu, terbentuklah MPRS yang kemudian menghasilkan 2 ketetapan, salah satunya adalah tentang upaya unifikasi hukum yang harus memperhatikan kenyataan-kenyataan umum yang hidup di Indonesia. Meskipun hukum Islam adalah salah satu kenyataan umum yang selama ini hidup di Indonesia, dan atas dasar itu Tap MPRS tersebut membuka peluang untuk memposisikan hukum Islam sebagaimana mestinya, namun lagi-lagi ketidakjelasan batasan “perhatian” itu membuat hal ini semakin kabur. Dan peran hukum Islam di era inipun kembali tidak mendapatkan tempat yang semestinya.
Menyusul gagalnya kudeta PKI pada 1965 dan berkuasanya Orde Baru, banyak pemimpin Islam Indonesia yang sempat menaruh harapan besar dalam upaya politik mereka mendudukkan Islam sebagaimana mestinya dalam tatanan politik maupun hukum di Indonesia. Apalagi kemudian Orde Baru membebaskan bekas tokoh-tokoh Masyumi yang sebelumnya dipenjara oleh Soekarno. Namun segera saja, Orde ini menegaskan perannya sebagai pembela Pancasila dan UUD 1945. Bahkan di awal 1967, Soeharto menegaskan bahwa militer tidak akan menyetujui upaya rehabilitasi kembali partai Masyumi.
Lalu bagaimana dengan hukum Islam?
Meskipun kedudukan hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum nasional tidak begitu tegas di masa awal Orde ini, namun upaya-upaya untuk mempertegasnya tetap terus dilakukan. Hal ini ditunjukkan oleh K.H. Mohammad Dahlan, seorang menteri agama dari kalangan NU, yang mencoba mengajukan Rancangan Undang-undang Perkawinan Umat Islam dengan dukungan kuat fraksi-fraksi Islam di DPR-GR. Meskipun gagal, upaya ini kemudian dilanjutkan dengan mengajukan rancangan hukum formil yang mengatur lembaga peradilan di Indonesia pada tahun 1970. Upaya ini kemudian membuahkan hasil dengan lahirnya UU No.14/1970, yang mengakui Pengadilan Agama sebagai salah satu badan peradilan yang berinduk pada Mahkamah Agung. Dengan UU ini, dengan sendirinya menurut Hazairin, hukum Islam telah berlaku secara langsung sebagai hukum yang berdiri sendiri.
Penegasan terhadap berlakunya hukum Islam semakin jelas ketika UU no. 14 Tahun 1989 tentang peradilan agama ditetapkan. Hal ini kemudian disusul dengan usaha-usaha intensif untuk mengompilasikan hukum Islam di bidang-bidang tertentu. Dan upaya ini membuahkan hasil saat pada bulan Februari 1988, Soeharto sebagai presiden menerima hasil kompilasi itu, dan menginstruksikan penyebarluasannya kepada Menteri Agama.
Hukum Islam di Era Reformasi
Soeharto akhirnya jatuh. Gemuruh demokrasi dan kebebasan bergemuruh di seluruh pelosok Indonesia. Setelah melalui perjalanan yang panjang, di era ini setidaknya hukum Islam mulai menempati posisinya secara perlahan tapi pasti. Lahirnya Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan semakin membuka peluang lahirnya aturan undang-undang yang berlandaskan hukum Islam. Terutama pada Pasal 2 ayat 7 yang menegaskan ditampungnya peraturan daerah yang didasarkan pada kondisi khusus dari suatu daerah di Indonesia, dan bahwa peraturan itu dapat mengesampingkan berlakunya suatu peraturan yang bersifat umum.
Lebih dari itu, disamping peluang yang semakin jelas, upaya kongkrit merealisasikan hukum Islam dalam wujud undang-undang dan peraturan telah membuahkan hasil yang nyata di era ini. Salah satu buktinya adalah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Qanun Propinsi Nangroe Aceh Darussalam tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Nomor 11 Tahun 2002.
Dengan demikian, di era reformasi ini, terbuka peluang yang luas bagi sistem hukum Islam untuk memperkaya khazanah tradisi hukum di Indonesia. Kita dapat melakukan langkah-langkah pembaruan, dan bahkan pembentukan hukum baru yang bersumber dan berlandaskan sistem hukum Islam, untuk kemudian dijadikan sebagai norma hukum positif yang berlaku dalam hukum Nasional kita.
Bagian III
PENUTUP
Era reformasi yang penuh keterbukaan tidak pelak lagi turut diwarnai oleh tuntutan-tuntutan umat Islam yang ingin menegakkan Syariat Islam. Bagi penulis, ide ini tentu patut didukung. Namun sembari memberikan dukungan, perlu pula kiranya upaya-upaya semacam ini dijalankan secara cerdas dan bijaksana.
Karena menegakkan yang ma’ruf haruslah juga dengan menggunakan langkah yang ma’ruf. Disamping itu, kesadaran bahwa perjuangan penegakan Syariat Islam sendiri adalah jalan yang panjang dan berliku, sesuai dengan sunnatullah-nya. Karena itu dibutuhkan kesabaran dalam menjalankannya. Sebab tanpa kesabaran yang cukup, upaya penegakan itu hanya akan menjelma menjadi tindakan-tindakan anarkis yang justru tidak sejalan dengan kema’rufan Islam.
Proses “pengakraban” bangsa ini dengan hukum Islam yang selama ini telah dilakukan, harus terus dijalani dengan kesabaran dan kebijaksanaan. Disamping tentu saja upaya-upaya penguatan terhadap kekuatan dan daya tawar politis umat ini. Sebab tidak dapat dipungkiri, dalam sistem demokrasi, daya tawar politis menjadi sangat menentukan sukses-tidaknya suatu tujuan dan cita-cita.
Referensi
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara (Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia), Paramadina, Jakarta, Oktober 1998.
Jimly Ashshiddiqie, Hukum Islam dan Reformasi Hukum Nasional, Seminar Penelitian Hukum tentang Eksistensi Hukum Islam dalam Reformasi Sistem Nasional, Jakarta, September 2000.
Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia dan Peranannya dalam Pembinaan Hukum Nasional, Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Jakarta, Mei 2005

Senin, 28 November 2011

ARAB SAUDI : Google Earth Temukan Situs Pra Islam

ARAB SAUDI : Google Earth Temukan Situs Pra Islam

ARAB SAUDI : Google Earth Temukan Situs Pra Islam

Postby Laurent » Sun Feb 20, 2011 10:43 am
Google Earth Temukan Situs Arkeologi Terlarang Arab Saudi
Ditulis oleh Praveen Swami Senin, 07 Februari 2011

Image
Image

Gambar satelit Saudi Arabia (Alamy)

Seorang arkeolog telah mengidentifikasi sekitar 2.000 situs terlarang yang berpotensi penting di Arab Saudi dengan menggunakan Google Earth, meskipun dia tidak pernah berkunjung ke negara tersebut.

David Kennedy, seorang profesor sejarah kuno di Univeritas Western Australia, dengan menggunakan pemetaan dari Google Earth berhasil menunjukkan sekitar 1.977 situs arkeolog penting, termasuk 1.082 titik mata air berbentuk batu makam.

“Saya belum pernah ke Arab Saudi. Negara ini tidak mudah dimasuki,” ujar Dr. Kennedy, seperti dilansir Telegraph.

Dr Kennedy kepada New Scientist mengatakan bahwa dia telah memverifikasi gambar-gambar yang menunjukkan situs arkeologi secara aktual dengan meminta seorang teman yang bekerja di negara Kerajaan itu untuk memotret lokasi-lokasi tersebut.

Penggunaan gambar udara dan satelit telah digunakan oleh Ingrgis untuk mencari Iron Age dan sejumlah situs Romawi di Inggris, demikian pula telah digunakan untuk mencari jalur Nazca di Peru serta reruntuhan Maya di Belize.

Namun beberapa arkeolog telah diberi akses ke Arab Saudi, yang telah lama terbentur dengan peraturan.

Sejumlah ulama garis keras kerajaan tersebut takut akan adanya perhatian serius terhadap peradaban yang berkembang sebelum munculnya Islam, yang dapat mengakibatkan melemahnya agama tersebut.

Pada 1994, sebuah Dewan Ulama Arab Saudi dilaporkan telah mengeluarkan dekrit yang menyatakan bahwa melestarikan situs sejarah ‘dapat mengarah pada politeisme dan pemujaan berhala’, keduanya dapat dijatuhi hukuman, dibawah hukum Kerajaan, yaitu hukuman mati.

Pemerintah Arab Saudi, dalam beberapa tahun terakhir, telah mengijinkan para arkeolog untuk menggali beberapa situs, termasuk reruntuhan spektakuler yang jarang diketahui dari Maiden Saleh, sebuah kota tua 2.000 tahun yang menandai batas-batas selatan dari peradaban Nabataen.

Sebagian besar akses ke situs-situs kuno sangat dibatasi. (Erabaru/Telegraph/sua)

http://erabaru.net/featured-news/48-hot ... arab-saudi

Siapa bilang Jaman Pra Islam adalah Jahiliyah

Arkeolog Temukan Puluhan Kuburan Purbakala Di Mesir


E-mail Cetak PDF
KAIRO - Para antropolog menemukan 57 makam kuno dalam sebuah penggalian di Mesir.

Menurut pernyataan resmi Dewan Barang Purbakala Mesir, makam tersebut terbuat dari batu berhias corak lengkap dengan mumi atau jasad yang telah diawetkan di dalamnya.

Seperti diberitakan Associated Press (AP), penemuan ini memberi pengetahuan baru khazanah kepercayaan kuno Mesir.

Makam kuno tersebut ditemukan di daerah Lahoun, sekitar 70 mil atau 100 kilometer sebelah selatan kota Kairo.

Dari 57 makam, yang paling tua berumur 2750 sebelum masehi atau pada periode permulaan Mesir dan dinasti kedua.

Dua belas makam lainnya mulai dibuat sekitar abad ke-18. Sementara 31 makam lainnya berumur sekitar 1840 sampai 2030 sebelum masehi.

Kepala Arkeologi Mesir Zahi Hawass mengatakan, mumi-mumi yang berasal dari dinasti ke-18 ditutupi dalam linen bertuliskan mantra dari Kitab Kematian.
Mumi-mumi itu juga diberi gambar sosok dewa-dewa kuno Mesir.

Abdel Rahman El-Aydi, kepala misi penemuan arkeologi mengatakan hal serupa. Bahwa makam-makam itu dihiasi dengan teks religius. Menurut kepercayaan Mesir Kuno, teks itu akan membantu arwah agar tidak tersesat ke alam neraka.

Pada 31 kuburan bertanggal antara 2030-1840 sebelum masehi, arkeolog menemukan gambar dewa-dewa kuno Mesir yang berbeda.

Dewa-dewa itu seperti Horus, Hathor, Khnum, dan Amun, sebagai hiasan.

Dia menjelaskan satu dari 57 makam yang ditemukan adalah makam yang paling komplit. Di dalamnya, terdapat jasad yang telah dibalsem dan dibungkus kain linen lengkap dengan alat-alat penguburan. (ar/tmp/vs) www.suaramedia.com

Islam masuk ke daerah Mandar (Sulawesi Barat)

Pertama kali Islam masuk ke daerah Mandar (Sulawesi Barat)


Diperkirakan berlangsung pada abad ke-16. Mengenai masuknya Islam pertama kali di daerah Mandar terdapat menjadi tiga pendapat seperti berikut :
1. Menurut Lontara Balanipa, masuknya Islam di Mandar dipelopori oleh Abdurrahim Kamaluddin yang juga dikenal sebagai Tosalamaq Dibinuang. Ia mendarat di pantai Tammangalle Balanipa. Orang pertama ialah Kanne Cunang Maraqdia ‘Raja’ Pallis, kemudian Kakanna I Pattang Daetta Tommuane, Raja Balanipa ke-4.
2. Menurut Lontara Gowa, masuknya Islam di Mandar dibawa oleh Tuanta Syekh Yusuf (Tuanta Salamaka).
3. Menurut salah sebuah surat dari Mekah, masuknya Islam di Sulawesi (Mandar) dibawa oleh Sayid Al Adiy bergelar Guru Ga’de berasal dari Arab keturunan Malik Ibrahim dari Jawa.
Pendapat yang kedua diatas secara tidak langsung ditolak oleh Dr. Abu Hamid yang dalam penelitiannya (diterbitkan oleh Yayasan Obor, Jakarta) menyimpulkan bahwa Syekh Yusuf Tuanta Salamaka tidak pernah kembali ke Sulawesi Selatan sejak kepergiannya ke Pulau Jawa sampai dibuang ke Kolombo Srilanka, kemudian ke Afrika Selatan dan meninggal di sana. Diperkirakan agama Islam masuk ke daerah Mandar berlangsung dalam abad-16. Tersebutlah para pelopor membawa dan menyebarkan Islam di Mandar yaitu Syekh Abdul Mannan Tosalamaq Disalabose, Sayid Al Adiy, Abdurrahim Kamaluddin, Kapuang Jawa dan Sayid Zakariah. Masuknya Islam di daerah ini dengan cara damai melalui raja-raja.
Syekh Abdul Mannan bergelar To Salamaq di Salabose. Pembawa dan pengajur Islam yang pertama masuk di wilayah Kerajaan Banggae, diperkirakan pada abad ke-16. Pada masa itu yang menjadi Raja Banggae ialah Tomatindo di Masigi (gelar yang diberikan kepadanya setelah meninggal dunia), putra Daetta Melattoq Maraqdia Banggae-Putri Tomakakaq/Maraqdia Totoli. Membangun dan menjadi imam yang pertama Masjid Sallabose, Banggae. Makamnya terletak di arah utara, 500 meter dari Mesjid tersebut. Sayid Al Adiy dimakamkan di Lambanan, Kec. Balanipa, Kab. Polman, dianggap keramat, selalu diziarahi orang. Mempunyai silsilah yang lengkap sampai tujuh generasi/lapis. Turunannya berperawakan mirip Arab. Abdurrahim Kamaluddin adalah penganjur Islam di kerajaan Balanipa Mandar. Ada juga yang mengatakan bahwa dialah kemudian bergelar Tosalamaq Tuan di Binuang. Sedangkan Sayid Zakariyah dimakamkan di Somba Kec. Sendana, Kab. Majene. Bersama Raden Suryodilogo (ada juga yang menulis Raden Surya Adilogo) Kapuang Jawa yang berlayar dari Tanah Jawa langsung ke Pelabuhan Pamboang.
Islam masuk di kerajaan Pamboang, dibawa oleh Saiyid Zakariyah, di awal abad ke-17. Sayid (Syekh) Zakariyah bergelar Puang Disomba berasal dari Magribi jazirah Arab. Raja Pamboang masa itu, Isalarang Idaeng Mallari bergelar Tomatindo Diagamana. Kawin dengan Puatta Boqdi putri Raja Pamboang. Dia dan rombongannya dari Pulau Jawa dengan perahu, mendarat di Pamboang. Raja Pamboang, permaisuri dan seluruh warga istana semuanya masuk Islam. Sesudah meninggal Raja Pamboang itu bergelar Tomatindo Diagamana ‘Orang Tidur di Agamanya’ maksudnya ‘Yang Meninggal Dalam Memeluk Agama Islam’. Permaisurinya bergelar Tomecipo’ (Orang yang Bertelekung).
Masuk dan berkembangnya agama Islam di daerah Pitu Ulunna Salu, diperkirakan terjadi antara 1630-1700 di Aralle, Mambi, Salurindu dan Rantebulahan. Mula pertama agama dibawa oleh penduduk setempat yang pergi ke daerah Balanipa mencari garam, kelapa, minyak kelapa, dan alat-alat pertanian. Sekembalinya, membawa Kitab Suci Al Quran. Juga memakai kopiah beledru hitam yang disebut songkoq Araq (kopiah model Arab). Suatu waktu Indona Aralle dan Indona Rantebulahan (Deppataji) mengajak Indona Tabulahan (Dettumanan) dan Indona Bambang (Puaq Tammi) mempelajari dan masuk agama Islam. Ajakan itu berhasil baik. Sehingga disitulah berawal fakta bahwa agama Islam adalah agama yang mayoritas di daerah Sulawesi Barat.
http://afiq-agung.blogspot.com/
Sumber : Buku Ensiklopedia tentang Mandar

daftar situs di Sumatera Selatan

Penelitian Arkeologi

Sejak berdirinya Balai Arkeologi Palembang telah melakukan hampir 100 kali penelitian yang meliputi hampir seluruh wilayah kerjanya. Penelitian tersebut dilakukan baik oleh Balai Arkeologi Palembang sendiri maupun bekerja sama dengan instansi terkait seperti Pusat Arkeologi Nasional, BP3 Jambi; pemerintah daerah setempat atau badan-badan luar negeri yang memiliki perhatian terhadap perkembangan arkeologi di Indonesia. Secara umum kegiatan penelitian baik yang bersifat eksploratif, deskriptif, maupun sitesis dapat dibagi berdasarkan periodesasinya yaitu masa prasejarah, Hindu-Buddha, Islam dan Kolonial. Dilihat dari karakteristiknya situs-situs yang telah diteliti terdiri dari berbagai jenis situs, seperti: keagamaan, industri, pemukiman, perkotaan dan sebagainya

DAFTAR SITUS DI SUMATERA BAGIAN SELATAN

NO.
SITUS
KABUPATEN
TEMA DOMINAN
ISU UTAMA
KEWILAYAHAN
1.
Benteng Toboali
Bangka
Rekonstruksi sejarah budaya
Hunian
Lokal
2.
Kantor Pembantu Bupati Toboali
Bangka
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
3.
Benteng Kutopanji
Bangka
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
4.
Kompleks Makam Belanda Sungailiat
Bangka
s.d.a.
Religi
Lokal
5.
Makam Horatio Nelson levysohn Sungailiat
Bangka
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
6.
Klenteng Kuan Ti Mio Sungailiat
Bangka
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
7.
Kantor Pembantu Bupati Mentok
Bangka
s.d.a.
Hunian
Lokal
8.
Kantor Camat Mentok
Bangka
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
9.
Rumah Dinas Kejaksaan Negeri Kec. Mentok
Bangka
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
10.
Kantor Kepolisian Mentok
Bangka
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
11.
Rumah Mayor Cina
Bangka
s.d.a.
s.d.a
Lokal
12.
Klenteng Kong Fuk Nio Mentok
Bangka
s.d.a.
Hunian, religi
Lokal
13.
Masjid Jami’ Mentok
Bangka
s.d.a.
s.d.a
Lokal
14.
Kompleks Pemakaman Bangsawan Melayu Mentok
Bangka
s.d.a.
s.d.a
Lokal
15.
Pasar Sungailiat
Bangka
s.d.a.
Hunian
Lokal
16.
Parit 3
Bangka
s.d.a.
s.d.a
Lokal
17.
Parit 4
Bangka
s.d.a.
s.d.a
Lokal
18.
Parit 7
Bangka
s.d.a.
s.d.a
Lokal
19.
Baturusa
Bangka
s.d.a.
s.d.a
Lokal
20.
Merawang
Bangka
s.d.a.
s.d.a
Lokal
21.
Jebus
Bangka
s.d.a.
s.d.a
Lokal
22.
Benteng Tempilang
Bangka
s.d.a.
s.d.a
Lokal
23.
Kotakapur
Bangka
s.d.a.
Hunian, seni, religi dan lingkungan
Lokal
24.
Teratai
 Batanghari
s.d.a.
Hunian
Lokal
25.
Durenhijau
 Batanghari
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
26.
Malapari
 Batanghari
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
27.
Terusan
 Batanghari
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
28.
Rantaukapastuo
 Batanghari
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
29.
Kemingking
 Batanghari
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
30.
Soloksakean

 Batanghari
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
31.
Ujungpelancu
 Batanghari
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
32.
Gedungkarya
 Batanghari
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
33.
Muarakumpeh
 Batanghari
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
34.
Pagardewa
Bengkulu Selatan
s.d.a.
Hunian, religi
Lokal
35.
Sukarame
Bengkulu Selatan
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
36.
Nagarantai
Bengkulu Selatan
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
37.
Talangpadang
Bengkulu Selatan
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
38.
Masat II
Bengkulu Selatan
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
39.
Kotabumi
Bengkulu Selatan
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
40.
Gerinsing
Bengkulu Selatan
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
41.
Rantaupanjang
Bengkulu Selatan
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
42.
Sebilo
Bengkulu Selatan
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
43.
Padangperi
Bengkulu Selatan
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
44.
Benteng Linau
Bengkulu Selatan
s.d.a.
Hunian
Lokal
45.
Bintuhan
Bengkulu Selatan
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
46.
Controleur
Bengkulu Selatan
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
47.
Bekas Penjara
Bengkulu Selatan
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
48.
Pesanggrahan
Bengkulu Selatan
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
49.
Gudang Minyak
Bengkulu Selatan
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
50.
Kantor Duane
Bengkulu Selatan
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
51.
Gudang Garam
Bengkulu Selatan
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
52.
Masjid lama Bintuhan
Bengkulu Selatan
s.d.a.
Hunian, religi
Lokal
53.
Masjid Jami’ Bintuhan
Bengkulu Selatan
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
54.
Masjid Jembatan Dua
Bengkulu Selatan
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
55.
Makam Cina di Gunung Selasih
Bengkulu Selatan
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
56.
Makam Belanda Bintuhan
Bengkulu Selatan
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
57.
Padangsepan
Bengkulu Utara
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
58.
Masjid Pasar Muko-muko
Bengkulu Utara
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
59.
Makam Putting Melayang Deni
Bengkulu Utara
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
60.
Makam Abdullah Kari
Bengkulu Utara
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
61.
Tugu Charles Kirkkpatrik
Bengkulu Utara
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
62.
Pematang Bandarratu
Bengkulu Utara
s.d.a.
Hunian
Lokal
63.
Lawang Seketeng
Bengkulu Utara
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
64.
Kurotidur
Bengkulu Utara
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
65.
Benteng Ana
Bengkulu Utara
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
66.
Benteng Victory
Bengkulu Utara
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
67.
Istana Tuangku
Bengkulu Utara
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
68.
Tugu H. van Amstel
Bengkulu Utara
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
69.
Transos
Bengkulu Utara
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
70.
Tanjungaur
Bengkulu Utara
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
71.
Benteng Malborough
Bengkulu ( kota)
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
72.
Kampung Cina
Bengkulu ( kota)
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
73.
Kebunkeling
Bengkulu ( kota)
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
74.
Pelabuhan Bengkulu
Bengkulu ( kota)
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
75.
Tugu Thomas Parr
Bengkulu ( kota)
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
76.
Kompleks Makam Jitra
Bengkulu ( kota)
s.d.a.
Hunian, religi
Lokal
77.
Bekas Gedung Pengadilan Kuna
Bengkulu ( kota)
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
78.
Kompleks Makam Inggris dan Belanda
Bengkulu ( kota)
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
79.
Masjid Jami’ Bengkulu
Bengkulu ( kota)
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
80.
Makam Sentot Alibasyah
Bengkulu ( kota)
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
81.
Soloksipin
Jambi ( kota)
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
82.
Kompleks Makam Taman Raja-raja
Jambi ( kota)
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
83.
Kompleks Makam Tahtulyaman
Jambi ( kota)
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
84.
Makam Museum Benteng
Jambi ( kota)
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
85.
Olakkemang
Jambi ( kota)
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
86.
Mudungdarat
Jambi ( kota)
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
87.
Batu Gong
Kerinci
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
88.
Pamangkurajo
Kerinci
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
89.
Bukit Pematanggadang
Kerinci
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
90.
Terawanglidah
Kerinci
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
91.
Betungkuning
Kerinci
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
92.
Kotomajidin
Kerinci
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
93.
Majidin Mudik
Kerinci
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
94.
Pendungmudik
Kerinci
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
95.
Kotodualamo
Kerinci
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
96.
Depatimudo
Kerinci
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
97.
Airhangat
Kerinci
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
98.
Muak
Kerinci
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
99.
Pondok
Kerinci
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
100
Pulausangkar
Kerinci
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
101
Pulautengah
Kerinci
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
102
Bukit Talangpulai
Kerinci
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
103
Nenek Talago
Kerinci
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
104
Lolokecil
Kerinci
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
105
Lempurmudik
Kerinci
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
106
Masjid Agung Pondoktinggi
Kerinci
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
107
Masjid Raya Tanjungpauh Hilir
Kerinci
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
108
Masjid Nurul Jalal Tanjungpauh Mudik
Kerinci
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
109
Masjid Keramat Kototuo Pulautengah
Kerinci
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
110
Masjid Nurul Iman Lolohilir
Kerinci
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
111
Masjid Tamiang Hilir
Kerinci
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
112
Masjid Lempur Mudik
Kerinci
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
113
Masjid Lempur Tengah
Kerinci
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
114
Makam Siak Lenggih dan Datuk Singa Rapih Putih
Kerinci
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
115
Kompleks Makam Talangbanio
Kerinci
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
116
Kompleks Makam Bukit Dusun Tinggi
Kerinci
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
117
Makam Imam jayo Kototebat
Kerinci
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
118
Muaradanau
Lahat
s.d.a.
seni
Lokal
119
Tanjungaro
Lahat
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
120
Tebat Sibentur
Lahat
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
121
Pulaupinang
Lahat
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
122
Tebingtinggi
Lahat
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
123
Benuakeling
Lahat
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
124
Muarabetung
Lahat
s.d.a.
s.d.a.
Nasional
125
Gunungmegang
Lahat
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
126
Beringin Jaya
Lahat
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
127
Belumai
Lahat
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
128
Tegurwangi
Lahat
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
129
Bukit Selayar
Lahat
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
130
Kotaraya Lembak
Lahat
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
131
Tinggihari
Lahat
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
132
Tanjungsirih
Lahat
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
133
Tanjungtelang
Lahat
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
134
Muaradua
Lahat
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
135
Sinjarbulan
Lahat
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
136
Kunduran
Lahat
s.d.a.
Hunian, religi
Nasional
137
Muarapayang
Lahat
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
138
Pasar Jarai II
Lahat
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
139
Kotaraya Darat
Lahat
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
140
Badaraji
Lahat
s.d.a.
Lingkung-an
Lokal
141
Pematangpanjang
Lahat
s.d.a.
Lingkung-an
Lokal
142
Gunungkaya
Lahat
s.d.a.
Hunian
Lokal
143
Simpangjemaring
Lahat
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
144
Tapalama
Lahat
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
145
Bumiayu
Muaraenim
s.d.a.
Seni, hunian, religi, lingkungan
Nasional
146
Semendo
Muaraenim
s.d.a.
Hunian, religi, lingkungan
Lokal
147
Pematangjering
Muarajambi
s.d.a.
Hunian, religi, lingkungan
Lokal
148
Muarajambi
Muarajambi
s.d.a.
Seni, hunian, religi, lingkungan
Nasional
149
Dusunmudo
Muarajambi
s.d.a.
Hunian, religi, lingkungan
Lokal
150
Telukkijing
Musi Banyuasin
s.d.a.
Seni, hunian, religi, lingkungan
Lokal
151
Karangagung Tengah
Musi Banyuasin
s.d.a.
Hunian, lingkungan
Lokal
152
Tanahabang
Musi Banyuasin
s.d.a.
Hunian, lingkungan
Lokal
153
Air Sugihan
Musi Banyuasin
s.d.a.
Hunian, lingkungan
Lokal
154
Delta Air Saleh
Musi Banyuasin
s.d.a.
Hunian, lingkungan
Lokal
155
Bukitcandi
Musirawas
s.d.a.
Teknologi, seni
Lokal
156
Binginjungut
Musirawas
s.d.a.
Hunian, religi, lingkungan
Lokal
157
Tingkip
Musirawas
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
158
Tabaginde
Musirawas
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
159
Benteng Ulaklebar
Musirawas
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
160
Makam Puyang M. Sarifudin
Ogan Komering Ilir
s.d.a.
Religi
Lokal
161
Makam Puyang Siak Turbiyah Ali Melayang
Ogan Komering Ilir
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
162
Masjid Riyadhul Jannah
Ogan Komering Ilir
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
163
Kompleks Makam Sido Ing Rajek
Ogan Komering Ilir
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
164
Masjid Asa’adah
Ogan Komering Ilir
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
165
Makam Syech Abdul Hamid Nasrudin Karim
Ogan Komering Ilir
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
166
Makam Sayid Umar Bagindo Sari
Ogan Komering Ilir
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
167
Makam Puyang Sang Lumutan
Ogan Komering Ilir
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
168
Gua Puteri
Ogan Komering Ilir
s.d.a.
Hunian
Lokal
169
Batuputih
Ogan Komering Ilir
s.d.a.
Teknologi
Lokal
170
Jepara
Ogan Komering Ilir
s.d.a.
Teknologi, seni
Lokal
171
Nikan
Ogan Komering Ilir
s.d.a.
Hunian, religi
Lokal
172
Gedingsuro
Palembang

Religi, hunian
Nasional
173
Telagabatu
Palembang
s.d.a.
s.d.a.
Nasional
174
Lemahabang
Palembang
s.d.a.
s.d.a.
Nasional
175
Boombaru
Palembang
s.d.a.
s.d.a.
Nasional
176
Air Bersih
Palembang
s.d.a.
s.d.a.
Nasional
177
Pagaralam
Palembang
s.d.a.
s.d.a.
Nasional
178
Candi Angsoka
Palembang
s.d.a.
s.d.a.
Nasional
179
Bukit Siguntang
Palembang
s.d.a.
s.d.a.
Nasional
180
Talangkikim
Palembang
s.d.a.
Hunian
Nasional
181
Kolam Pinisi
Palembang
s.d.a.
s.d.a.
Nasional
182
Kambangpurun
Palembang
s.d.a.
Religi, hunian
Nasional
183
Talangtuo
Palembang
s.d.a.
s.d.a.
Nasional
184
Karanganyar
Palembang
s.d.a.
s.d.a.
Nasional
185
Kedukan Bukit
Palembang
s.d.a.
s.d.a.
Nasional
186
Lorongjambu
Palembang
s.d.a.
Hunian
Nasional
187
Ladangsirap
Palembang
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
188
Kambangunglen
Palembang
s.d.a.
Teknologi, hunian
Nasional
189
Sabokingkin
Palembang
s.d.a.
Religi, hunian
Nasional
190
Kawah Tengkurep
Palembang
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
191
Kambangkoci
Palembang
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
192
Kebongede
Palembang
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
193
Masjid Agung
Palembang
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
194
Kapiten Cina
Palembang
s.d.a.
Hunian
Lokal
195
Kampung Arab
Palembang
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
196
Kampung Tambi
Palembang
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
197
Bagus Sekuning
Palembang
s.d.a.
Religi, hunian
Lokal
198
Bukit Mahameru
Palembang
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
199
Klenteng 7 Ulu
Palembang
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
200
Benteng Kutobesak
Palembang
s.d.a.
Hunian
Lokal
201
Rumah Dinas Wako Pangkalpinang
Pangkalpi-nang
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
202
Lambur (Sitihawa)
Tanjung-jabung
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
203
Parit 7
Tanjung-jabung
s.d.a.
s.d.a.
Lokal
204
Tuosumai
Tebo
s.d.a.
Religi, hunian
Lokal