Bugis Pulau Serangan
Orang Bugis di Pulau Serangan

Ida Cokorda menunjukkan lokasi di luar Pulau Serangan, namun karena pada dasarnya mereka merupakan suku yang dekat dengan laut. Mereka memohon untuk pindah kembali ke Pulau Serangan. Permohonan mereka dikabulkan.
Usman dan Ali juga merupakan contoh orang-orang yang tetap menekuni dunia nelayan. Di luar Usman dan Ali atau sekitar 70 kepala keluarga di Kampung Bugis, lebih memilih pekerjaan berbeda. Industri pariwisata dan pesatnya pembangunan perlahan-lahan mengubah pola hidup warga setempat. Kalaupun mereka berada di laut, lebih karena sebagai penyedia jasa wisata bahari.
Kesetiaan Usman dan Ali meneruskan bakat nenek moyang juga diperkuat kepiawaian menyelam di laut. Mereka menyelam dengan peralatan sederhana sambil memanah ikan. Hampir segala jenis ikan pernah ditangkap termasuk ikan hias. Ikan tersebut dijual atau mereka makan sendiri.
Roda kehidupan Kampung Bugis yang sebenarnya lebih terlihat kala suara azan magrib terdengar. Setelah kumandang azan, seluruh warga akan datang ke Masjid Assyuhada yang merupakan satu-satunya masjid di Kampung Bugis. Usai menunaikan salat magrib, anak-anak berkumpul untuk belajar mengaji. Rutinitas ini persis dilakukan nenek moyang mereka di Sulawesi Selatan.
Kecintaan warga Kampung Bugis terhadap Islam, sejarah nenek moyang, adat istiadat Suku Bugis terlihat dari sebuah alquran tua. Mereka memelihara alquran tua itu karena konon dibawa Syekh Haji Mukmin. Ayat-ayat suci yang ditulis dalam lembaran kertas masih terbaca jelas. Kitab itu dibungkus dengan kain tebal berwarna hijau agar tidak rusak.
Alquran dalam berbagai kesempatan dibawa keliling kampung atau warga setempat menyebut acara ini dengan kirab. Mereka berkeliling sambil membaca salawat nabi. Kitab alquran tua, lantunan shalawat nabi, dan makam Syekh Haji Mukmin serta pengikutnya itu menjadi catatan penting keberadaan Suku Bugis di Pulau Serangan. Catatan ini terus dipelihara meski proses perkawinan antarsuku banyak terjadi. “Syekh Haji Mukmin Membawa bekal satu kitab alquran. Dia berpesan kalau ada musibah atau bahaya apapun, kamu harus mengelilingi kampung sambil membawa alquran ini,” tutur M. Mansyur. Sesepuh Kampung Bugis ini menambahkan, tidak seorang pun tahu termasuk Syekh Haji Mukmin, siapa penulis alquran tersebut. “Ini tulisan tangan,” kata Mansyur.
Di luar catatan sejarah dan budaya suku Bugis di Pulau Serangan, selama 14 tahun terakhir, warga Kampung Bugis dan warga lain dihadapkan pada persoalan baru, yaitu reklamasi pulau. Karena reklamasi, lahan yang tadinya hanya 112 hektare disulap menjadi 481 hektare. Keadaan ini membawa perubahan terhadap kehidupan masyarakat terutama menyangkut kondisi lingkungan dan lahan lakah.
Dampak lain, Usman dan Ali atau warga setempat juga makin sulit mencari ikan hias yang dulu sering mereka tangkap sambil menyelam. Kerusakan mangrove membuat ikan menjauh ke tengah samudra sehingga kehidupan bernelayan sangat terganggu. Cara hidup orang Bugis kini bergeser ke daratan. Kalaupun masih ada yang bertahan sebagai nelayan, karena tidak punya pilihan lain. “Jadi, walaupun ada pendatang, tapi rel-rel dasar mereka tetap Bugis, tetap orang Jawa tetap orang Madura, dan kami juga tetap Hindu. Tetapi menghadapi hal-hal yang negatif, kami tetap satu,” kata Ida Cokorda.
Kendati begitu, Ida Cokorda memastikan warga Pulau Serangan tidak akan kehilangan identitas karena mereka seperti ikan berenang di laut. “Walaupun air laut asin, tapi kami [ikan] tidak asin,” kata Ida Cokorda. Mansyur juga memastikan kerukunan antar penganut agama berbeda di Pulau Serangan termasuk nomor satu di seputar Bali. “Tidak pernah satu kali pun dari dulu terjadi [keributan],” tegas Mansyur.(KEN/Tim Liputan Potret)
Sumber : Liputan6.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar