Selasa, 01 November 2011

HUKUM ADAT bugis makassar ( THE LAW OF ETHNIC bugis makassar)


1.      Pengertian hukum adat menurut beberapa ahli
a.       Prof.Van Vallenhoven, yang pertama kali menyebut hukum adat memberikan definisi hukum adat sebagai : “ Himpunan peraturan tentang perilaku yang berlaku bagi orang pribumi dan timur asing pada satu pihak yang mempunyai sanksi (karena bersifat hukum) dan pada pihak lain berada dalam keadaan tidak dikodifikasikan (karena adat). Abdulrahman , SH menegaskan rumusan Van Vallenhoven dimaksud memang cocok untuk mendeskripsikan apa yang dinamakan Adat Recht pada jaman tersebut bukan untuk Hukum Adat pada masa kini.
b.      Prof. Soepomo, merumuskan Hukum Adat: Hukum adat adalah synomim dari hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan legislative (statuary law), hukum yang hidup sebagai konvensi di badan-badan hukum Negara (Parlemen, Dewan Propinsi dan sebagainya), hukum yang hidup sebagai peraturan kebiasaan yang dipertahankan di dalam pergaulan hidup, baik di kota maupun di desa-desa.
c.       Prof. Soeripto: Hukum adat adalah semua aturan-aturan/ peraturan-peraturan adat tingkah laku yang bersifat hukum di segala kehidupan orang Indonesia, yang pada umumnya tidak tertulis yang oleh masyarakat dianggap patut dan mengikat para anggota masyarakat, yang bersifat hukum oleh karena ada kesadaran keadilan umum, bahwa aturan-aturan/ peraturan itu harus dipertahankan oleh petugas hukum dan petugas masyarakat dengan upaya paksa atau ancaman hukuman (sanksi).
d.      Hardjito Notopuro: Hukum Adat adalah hukum tidak tertulis, hukum kebiasaan dengan ciri khas yang merupakan pedoman kehidupan rakyat dalam menyelenggarakan tata kedilan dan kesejahteran masyarakat dan bersifat kekeluargaan.
e.       Suroyo Wignjodipuro: Hukum adat adalah suatu kompleks norma-norma yang bersumber apada perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang serta meliputi peraturan tingkat laku manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, sebagian besar tidak tertulis, karena mempunyai akibat hukum (sanksi).
f.       Seminar Hukum Adat dan pembinaan Hukum Nasional: Hukum adat diartikan sebagai Hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia, yang disana sini mengandung unsur agama.
Menurut pendapat saya hukum adat adalah suatu aturan atau norma yang ada di dalm masyarakat yang tidak tertulis namun disepakati secara bersama sama untuk kemsahalatan bersama, tampa memandang kalangan apapun dalam penerapanya dan diturungkan secara turun temurun dalm suatu lingkungan masyarakat tertentu sebagi pendukung kebudayaan tersebut
2.      Pangadereng/ dan pangadakkan dalam masyarakat Bugis-Makassar
            Pangdereng dalam msyarakat Bugis-Makassar
a.       Ade’ yaitu unsur dari pangadereng yang lebih dikenal dengan kata norma atau  adat. Ade’ ini secara khusus terdiri beberapa bagian yaitu :
Ø  Ade’ akkalibinengen, yaitu adatatau norma mengenai hal ihwal perkawinan serta hubungan kekerabatan dan berwujud sebagi kaidah kaidah perkawinan, kaidah-kaidah keturunan, aturan-aturan mengenai hak dan kewajiban warga rumah tangga, etika dalam berumah tangga dan sopan santun pergaulan antar kaum kerabat
Ø  Ade’ tanaatu norma-norma mengenai hal ihwal bernegara dan memerintah negara dan berwujud sebagai wujud hukum negara, hukum antar negara, serta etika dan pembinaan insan politik
                Untuk pengawasan dan   pembinaan ade dalam masyarakat bugis biasanya dilakasanakan oleh beberapa pejabat adat seperti pakka tenniade’, puang ade’, pampawa ade’, dan parewa ade’.
b.      Bicara adalah unsur bagian dari pangadereng yang mengenai aktivitiet dan konsep konsep yang tersangkut paut dengan peradilan, maka kurang lebih sama dengan hukum acara, mementukan prosedurnya, serta hak-hak dan kewajiban seorang yang sedang mengajukan kasusnya di muka  pengadilan atau yang mengajukan penggugatan.
c.       Rapang bererti contoh, perumpamaan, kias atau analogi. Sebagai unsur bagian dari pangadereng, rapang menjaga kepastiaan  dan kontiniutet dari suatu kpeutusan hukum tak tertulis dalm masa yang lampau sampai sekarang dengan membuat analogi antara kasus dari masa yang lampau itu dengan kasus yang sedang digarap. Rapang juga berwujud sebagai perumpamaan-perumpamaan yang mengajukan kelakuan ideal dan etika dalam lapangan hidup yang tertentu seperti lapangan kehidupan kekerabatan, lapangan kehidupan berpolitikdan memerintah negara dsb. Selain dari itu rapang juga berwujud sebagai pandangan-pandangan keramat untuk mencegah tindakan-tindakan yang bersifat ganguanterhadap hak milik serta ancaman terhadap keamanan seorang warga masyarakat.
d.      Wari’ adalah unsur bagian dari pangadereng yang melakukan klasifikasi dari segala benda, peristiwadan aktivitietnya dalam kehidupan masyarakat menurut kategori-kategorinya. Misalnya untuk memelihara tata susunan dan  tata penempatan hal hal dan benda-benda dalam kehidupan masyarakat untuk memelihara jalur dan garis keturunan yang mewujudkan pelapisan sosial; untuk memelihara hubungan kekerabatan antara raja suatu negara dengan raja-raja dari negara-negara lain, sehingga dapat ditentukan mana yang tua dan mana yang muda dalm tata upacara kebesaran.
e.       Sara’ adalah unsur bagian dari pangadereng yang mengandung pranata-pranata dan hukum islam dan yang melengkapkan ke empat unsurnya menjadi lima. Sistem religi masyarakat Sulawesi Selatan   sebelum masuknya ajaran islam seperti yang tampak dalm sure’ lagaligo, sebenarnya telah mengandung sutu kepercayaan terhadap dewa yang tunggal yang disebut dengan beberapa nama seperti patoto-e (maha menentukan nasib), dewata sewwae (dewa yang tunggal), turie’ a’rana (kehendak yang tertinggi). Sisa kepercayaan seperti ini masih tampak jelas misalnya beberapa kepercayaan tradisional yang masi bertahan sampai sekarang misalnya pada orang tolotang, di kabupaten sidenreng rappang dan pada orang ammatoa di kajang daerah bulukumba.
      Bertepatan dengan masuknya islam di sulawesi seltan pada abad ke 17.
3.      Jelaskan
a.       Hukum adat dengan Alam
Dalam hukum adat pelangaran terhadap sebuah sistem adat atau hukum adat di pandang oleh masyarakat dapat menggangu keseimbangan kosmis yaitu lingkungan hidup tempat manusia hidup. Sehingga sering terjadi suatu bencana dari alam karena terjadinya gangguan pada kesimbangan alam akibat pelannggaran yang di perbuat oleh manusia. Maka dari itu jika terjadi sebuah pelanggaran adat, harus di beri hukuman atau sanksi oleh pelaksana hukum adat yang biasa disebut parewa ade’. Untuk memberikan hukuman kepada pelaku pelanggaran adat diberiak beberapa sanksi seperti denda sesuai dengan yang sudah disepakati, di usir dari suatu lingkungan masyarakat, di hukum mati, derajat sosial diturunkan sehingga bisa dijadikan budak, jika pemegang kekuasaan maka harus dipecat dari jabatannya, keturunanya tidak dimunculkan alias di habiskan seperti pepatah pohon yang tidak dibiarkan menghasilkan pucuk dari hasil tebangan, dianggap sudah meninggal (dalam masyarakat bugis dikenal dengan istilah dipoppangi tana’)
b.      3 hal pokok dalam hukum adat
Hal pokok dalam hukum adat
·         Rangkaian  tata tertib  yang di buat dan ditaati oleh masyarakat
·         Pelanggaran terhadap tata tertib ini yang terdapat dalam hukum adat dapat menimbulkan gangguan kesinambungan dan keseimbangan  lingkungan alam ( Kosmis)
·         Pelaku yang melakukan pelanggaran adat ini akan diberikan sanksi oleh masyarakat yang bersangkutan
c.       Sifat Hukum adat menurut I Made Widyayana
·         Bersifat menyeluruh dan menyatukan, tidak untuk orang-orang tertentu dan tidak juga untuk mencerai-beraikan masyarakat
·         Membeda-bedakan permasalahan
·         Ketentuan yang ada bersifat terbuka yaitu fleksibel
·         Perdailan dengan permintaan
·         Tindakan reaksi dan koreksi dalam hal pemutusan perkara
4.      Jelasakan
a.       Norma, Hukum dan Sanksi
Norma adalah salah satu ikatan yang mebentuk suatu aturan, dan aturan tersebut menjadi suatu hukum yaitu suatu yang pasti dan tidak bisa permaingakan, dan bagi masyarakat yang melanggar tata aturan tersebut (Hukum)  maka akan dikenakan sanksi atau hukuman sesuai dengan pelanggararan yang dilakukan.
b.      Hubungan Sirik, Tumannyala, tumassiri
Pengertian sirik
a.       Moh. Natsir Said mengatakan bahwa sirik adalah suatu perasaan malu (krengking/belediging) yang dilanggar norma adatnya. Menurut Cassuto, salah seorang ahli hukum adat yang berkebangsaan Jepang yang pernah menliti masalah sirik di Sulawesi Selatan  berpendapat : Sirik merupakan pembalasan berupa kewajiban moral untuk membunuh pihak yang melanggar adatnya.1)
b.      Kodak VIII Sul-Selra bekerjasama dengan Universitas Hasanuddin mengadakan seminar masalah sirik tanggal 11-13 Juli 1977 telah merumuskan : Sirik adalah suatu sistem nilai Sosial-kltural dan kepribadian yang merupakan pranata pertahanan harga diri dan martabat manusia sebagai individu dan anggota masyarakat. 2)
c.       Kalau kita kaji secara mendalam dapat ditemukan bahwa sirik dapat dikategorikan dalam empat golongan yakni : pertama, Sirik dalam hal pelanggaran kesusilaan, kedua sirik yang berakibat kriminal, ketiga sirik yang dapat meningkatkan motivasi seseorang untuk bekerja dan keempat sirik yang berarti malu-malu (sirik-sirik). Semua jenis sirik tersebut dapat diartikan sebagai harkat, martabat, dan harga diri manusia.

Pengertian anyyala
Annyala dalam terminologi Makassar diartikan sebagai ‘kebersalahan’ atau dalam bahasa gaulnya dapat diartikan ‘nakal’. Namun “Annyala” yang ingin penulis jelaskan disini bukanlah Annyala dalam pengertian umum, tapi Annyala dalam konteks perkawinan atau kebersalahan dalam perkawinan. Biasa kita mendengar ucapan, “anjo bura’ne annyala” (makassar : itu lelaki bersalah) atau “anjo baine annyala” (makassar : itu perempuan bersalah), maka yang dimaksudkan dalam kalimat tersebut adalah kebersalahan dalam konteks perkawinan. Karena itu, biasanya pula orang tua kita yang mendengar pernyataan seperti itu, tidak lantas meneruskan pertanyaannya karena sangat sadar bahwa kalimat tersebut didalamnya mengandung konsekuensi rasa malu dan taruhan harga diri (siri’).
                        Tomasisrik
            Tomasirik adalah orang orang yang merasa dipermalukan ketika kelurganya dari   pihak gadis  yang dibawa lari oleh laki-laki tampa restu darinya. Dalm masyarakat bugis yang disebut to masirik adalh paman dari si perempuan atau saudara laki-laki dari perempuan dan berhak memeberikan hukuman kepada anyyala
Hubungan antara sirik, anyyala, dan to masirik
Proses perkawinan yang mengandung dampak rasa malu dan taruhan harga diri adalah proses perkawinan yang terjadi karena ‘nipakatianang’ (hamil sebelum nikah). Keadaan demikian ini dapat menimbulkan dua kemungkinan, yaitu (1) Kawin secara adat atau (2) Annyala. Kawin secara adat terlaksana apabila kehamilan si perempuan (tau-nipakatiananga) belum tersebar, tapi baru diketahui ibu dan kerabat ibu yang terdekat sehingga mereka ini secara rahasia (tidak diketahui oleh tu-masirik perempuan yang hamil) menghubungi keluarga tu-mappakasiri’ agar dalam waktu yang singkat perkawinan dapat dilangsungkan melalui prosedur yang biasa. Kedua belah pihak berusaha menutupi dan melindungi rahasia demi nama baik kedua keluarga.
Bilamana perkawinan secara adat tidak terlaksana, maka terjadilah prosedur yang sama dengan Annyala, dimana keadaan perempuan telah menyedihkan karena si lelaki tidak bertanggung jawab / menghilang. Si perempuan yang berlindung kepada imam atau kadhi dinikahkan dengan seorang lelaki yang niatnya darurat. Lelaki yang menikahi seorang perempuan karena terlebih dahulu hamil yang sebelumnya tidak ada hubungan disebut kawin pattongkok sirik (=kawin penutup malu), si perempuan yang bernasib sial ini oleh orang tuanya / kerabatnya “nimateanmi” (dianggap sudah mati).
Dalam pandangan adat, anak yang dilahirkannya kelak disebut ana’ bule (anak haram jadah). Anak ini bila hidup sampai dewasa sangat sulit kedudukannya dalam masyarakat karena seolah - olah dialah yang harus menanggung segala kesalahan dan dosa orang tuanya. Hal ini berbeda dalam pandangan agama, bahwa si anak tidaklah berdosa sama sekali, tidak pula mewarisi dosa orang tuanya, setiap anak terlahir dalam keadaan suci, orang tuanyalah sendiri yang menanggung dosa yang telah diperbuatnya.
Dalam pandangan adat, Annyala (kebersalahan dalam perkawinan) dapat dibedakan atas tiga macam, yaitu : Silariang, Nilariang, dan Erangkale. Karena namanya saja “Annyala”, maka ketiganya tentu saja tidak ada bagusnya, kesemuanya mempermalukan diri dan keluarga, ketiganya membawa dampak rasa malu serta konsekuensi taruhan harga diri (siri’). Tindakan Annyala ini sebenarnya dapat diakhiri dengan proses berbaikan, namanya “Abbajik” atau “Appala Bajik” (makassar : meminta kebaikan, memohon maaf), namun dalam konteks kekinian, bagaimana sebenarnya kita melihatnya mengingat sudah sedemikian bebasnya proses pergaulan dan komunikasi serta telah ditinggalkannya adat, bukan saja oleh anak tapi juga oleh orang-orang tua kita, meski masih banyak sekali yang memegang teguh prinsip - prinsip adat. Annyala, dalam bentuk apapun, seringkali disertai pengejaran dan harus berakhir dengan pembunuhan, sebagai upaya menegakkan siri’ (malu dan harga diri) dari keluarga tunipakasiri’.
·         Silariang (Sama - sama Lari)
Yang dimaksud dengan Silariang ialah dua orang yang saling mencintai, sama - sama lari dari keluarganya. Pada masyarakat Bugis Makassar, kawin lari (silariang) merupakan hal yang tidak direstui bahkan menjadi aib dalam masyarakat. Terjadinya kawin lari biasanya dikarenakan uang belanja perkawinan (mas kawin / sunrang) yang ditentukan oleh pihak keluarga si gadis terlampau tinggi, bisa juga terjadi karena keluarga si gadis tidak menyetujui pihak keluarga laki - laki, baik calon menantunya maupun calon besannya., misalnya karena perbedaan status sosial. Terkait dengan uang naik (doe’ nipanaik) atau uang belanja (doe’ balanja) dalam perkawinan yang tinggi, biasanya memang keluarga si gadis dalam masyarakat bugis makassar menempuh jalan demikian untuk menolak pinangan secara halus
·         Nilariang (Dibawa Lari)
Nilariang adalah proses Annyala dimana si gadis dilarikan oleh si pemuda atau oleh si pemuda dan keluarganya. Karena namanya Nilariang, maka faktanya dilapangan bisa beragam. Bisa saja perbuatan si pemuda melarikan anak gadisnya orang tanpa sepengetahuan orang tuanya, karena bisa juga terjadi orang tua dan keluarga si pemuda tidak merestui tindakan anaknya melarikan anak gadis orang. Bisa juga terjadi, keluarga si pemuda memberi restu dengan sebab yang beragam, misalnya ingin membuat malu keluarga si gadis dan lain sebagainya.
·         Erangkale (Melarikan Diri)
Proses Annyala ini umumnya dimaknai sebagai tindakan si gadis lari dari keluarganya tanpa sepengetahuan orang tua, keluarga dan kerabatnya untuk menemui si pemuda, dan selanjutnya kawin di suatu tempat yang tidak diketahui oleh kedua keluarga, kecuali oleh mereka berdua. Tapi, penulis memaknainya juga sebagai proses janjian (assijanji). Faktanya di lapangan bisa kedua - duanya sama - sama lari dari keluarganya secara sendiri - sendiri, dan untuk selanjutnya bertemu di suatu tempat yang telah mereka sepakati berdua.

Proses Abbajik (Berbaikan)
Apabila terjadi perkawinan lari (Silariang, Nilariang, Erangkale), maka oleh pihak keluarga si gadis akan melakukan pengejaran, biasa disebut tu-masiri’, dan kalau mereka berhasil menemukan kedua pelarian itu, maka kemungkinan laki-laki (tu-mannyala) itu akan dibunuh. Tindakan membunuh tu-mannyala ini disebut appaenteng siri’ atau menegakkan harga diri dan kehormatan keluarga.
Karena perbuatan tu-mannyala (makassar : orang yang bersalah) biasanya jika diketahui dapat menimbulkan ketegangan dalam masyarakat, terutama dari keluarga sigadis. Sebab tu-mannyala harus dibunuh kecuali bila tu-mannyala tadi telah berada dalam rumah atau pekarangan anggota dewan hadat / pemuka masyarakat atau setidak-tidaknya telah sempat melemparkan penutup kepalanya (songkok atau destar) ke dalam pekarangan rumah anggota hadat tersebut yang berarti ia sudah berada dalam perlindungan, maka tak dapat diganggu lagi. Begitu juga kalau ia sedang bekerja di kebun, di ladang atau di sawahnya. Bila tu-mannyala tadi telah berada di rumah satu pemuka masyarakat (dalam hal ini imam atau kadhi) maka menjadi kewajiban baginya untuk segera menikahkan tu-mannyala.
Langkah pertama, orang tua sigadis (tu-masirik) dihubungi dan dimintai persetujuannya agar anaknya dapat dinikahkan. Biasanya orang tua tak dapat memberi jawaban apalagi bertindak sebagai wali, karena merasa hubungannya dengan anaknya mimateami (telah dianggap mati). Sebab itu, tak ada jalan lain bagi imam atau kadhi kecuali menikahkan tu-mannyala dengan ia sendiri bertindak sebagai wali hakim. Setelah itu, baru dipikirkan yang harus dilakukan tu-mannyala agar diterima kembali sebagai keluarga yang sah dalam pandangan adat. Hubungan antara tu-masiri’ dengan tu-annyala sebagai tu-appakasirik akan diterima selama tu-mannyala belum abbajik (damai). Bila tu-mannyala mampu dan berkesempatan appakabajik (berdamai) ia lalu minta bantuan kepada penghulu adat/pemuka masyarakat tempatnya meminta perlindungan dahulu. Lalu diutuslah seseorang untuk menyampaikan maksud appala bajik (meminta damai) kepada keluarga tu-masirik atau kepada penghulu kampung tempat keluarga tu-masirik yang selanjutnya menghubungi keluarga tu-masirik agar berkenan menerima kembali tumate tallasa’na (orang mati yang masih hidup).
Keluarga tu-masirik lalu menyampaikan kepada sanak keluarganya tentang maksud kedatangan tu-mannyala appala bajik. Bila seluruh keluarga berkenan menerima kembali tu-mannyala tersebut, maka disampaikanlah kepada yang mengurus selanjutnya pada pihak tu-mannyala. Kemudian si tu-mannyala dengan keluarganya mengadakan persiapan yang diperlukan dalam upacara appala bajik tersebut. Keluarga tu-mannyala menyediakan sunrang (mahar) sesuai aturan sunrang dalam perkawinan adat, selain menyediakan pula pappasala (denda karena berbuat salah). Pappasala dengan sunrang dimasukkan dalam ‘kampu’ disertai ‘leko’ sikampu’ (sirih pinang dalam kampu). Keluarga tu-mannyala juga yang wajib menyiapkan dalam pertemuan itu antara lain hidangan adat.
Pada waktu yang telah ditentukan, tu-mannyala (orang yang telah berbuat salah/aib) datang dengan keluarga yang mengiringinya ke rumah salah seorang tu-masirik (orang yang menderita malu atau yang dipermalukan). Sementara itu keluarga tu-masirik telah pula hadir. Dengan upacara penyerahan kampu dari pihak to-mannyala/tu-mappakasirik yang diterima oleh tu-masirik maka berakhirlah dendam dan ketegangan selama ini. Tu-mannyala tadi meminta maaf kepada keluarga tu-masirik yang hadir dan pada saat itu dirinya resmi diterima sebagai keluarga yang sah menurut adat.

5.      Analisis Perkawinan Sumbang
Dalam tatanam masyarakat bugis makassar sistem tata aturan perkawinan di jelakan sebagi berikut :
1. Assialang maola Ialah perkawinan antara saudara sepupu derajat kesatu, baik dari pihak ayah maupun ibu.
2. assialanna memang ialah perkawinan antara saudara sepupu derajat kedua, baik dari pihak ayah maupun ibu.
3. ripaddeppe’ abelae ialah perkawinan antara saudara sepupu derajat ketiga, baik dari pihak ayah maupun ibu atau masih mempunyai hubungan keluarga
Adapun perkawinan – perkawinan yang dilarang dan dianggap sumbang (salimara’):
1. perkawinan antara anak dengan ibu / ayah
2. perkawinan antara saudara sekandung
3. perkawinan antara menantu dan mertua
4. perkawinan antara paman / bibi dengan kemenakan
5. perkawinan antara kakek / nenek dengan cucu
Terkait dengan perkawian sumabang atau salimara saya belum bisa menganalisis berhubung saya belum pernah mendapatkan kasus seperti ini dan literatunya pun say belum dapatkan , yang pernah saya ketahui perkawin ini sangat di haramkan dan dilarang pada masyarakat tanah bugis pada umumnya apalagi pada saat masuknya islam dan telah menjadi unsur pangadereng dalam  masyarakat bugis pada umunya. Yang pernah saya dengar jika orang melakukan salah satu kesaalahan di atsa maka pihak keluarkga dan ketuia adat menghukum sipelaku dengan cara :
a.       Di bunuh
b.      Di usir
c.       Diputuskan tali silaturahim
d.      Akan di sumpahi mendapat sial seumur hidup
e.       Di anggap sudah tidak ada  dan tidak pernah ada dalm suatu lingkungan masyarakat


















SUMBER PUSTAKA

Google .2011. Blog. Nak bugis. Konsepsi Manusia Bugis-Makassar Dalam Diri JK «   AIRHUJAN _dialognol.htm: Makassar
Mattulada.1995. Latoa. Hasanuddin Press; Makassar
Koentjaraningrat. 2002. Masayarakat dan Kebudayaan di Indonesia.Djambatan; Jakarta
Buku Sulselbar. (tidak diketahui pengarangnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar