Senin, 28 November 2011

unhas.....dalam bingkai buday...yang tak terfikirkan sekarang........

Ruh Bugis-Makassar Tergerus di Tanah Sendiri

Kampus Merah terbangun dari latar belakang multibudaya, tetapi budaya lokal itu sendiri kini tak dilirik lagi.

Sebuah petuah kuno dalam Lontara mengatakan jika panen tak berhasil pada suatu kerajaan, maka yang diperiksa pertama kali adalah Sang Raja. Menilik petuah nenek moyang Bugis ini, kita tergelitik dengan kondisi kampus merah yang kerap kali diwarnai tawuran, kebobrokan moral mahasiswa, dosen yang mengejar proyek, pegawai akademik yang melakukan pungutan liar. Maka kerajaan kampus merah yang pertama diperiksa adalah ‘rajanya’. Inilah gambaran yang terjadi di kampus ini. Budaya Bugis-Makassar yang sarat akan nilai Fhiloshopis, kini hilang tergerus arus budaya global.
Budaya Bugis-Makassar bukan hanya seni tarian dan seni musik, lebih dari itu budaya Bugis-Makassar meliputi pandangan hidup, etika, perilaku keseharian, tatanan akademik, interaksi sosial yang berpedoman pada konsep Tomanurung. Akan tetapi hal inilah yang sejak dahulu tak diterapkan di kampus merah. Alhasil terjadi bias pada masyarakat kampus terhadap tradisi Bugis- Makassar itu sendiri.
Menurut Supa Atha’na, budaya Bugis-Makassar telah kehilangan wajah, karena di Unhas tak ada Patrone yang jelas memberikan representasi wajah Bugis-Makassar, yang ke dua adalah siri’ napacce’ dalam artian figur yang cerdas, berintelektual tinggi, berani, jujur, rendah hati dan sederhana. “Yang seperti itu tak ada di Unhas,” tambahnya..
Di samping itu secara kelembagaan pendidikan, kurikulum yang diterapkan di Sulawesi Selatan khususnya kurikulum di Unhas tak pernah dicantumkan pelajaran budaya Bugis-Makassar. Ditambah lagi para peneliti Unhas lebih tertarik untuk meneliti kebudayaan barat, ketimbang menggali kebudayaan Bugis-Makassar itu sendiri. “Walaupun masih ada beberapa orang yang merevisi naskah-naskah kuno Bugis-Makassar, hanya saja orang-orang itu bisa dihitung jari,” jelasnya
Lain halnya dengan Alwy Rahman, Dosen Fakultas Sastra ini mengatakan saat ini kampus Unhas berada di tengah-tengah budaya global yang merupakan sebuah heterogenitas, selalu mengedepankan teknologi, dengan pengembangan inovasi yang pesat. Kebudayaan ini selalu mengedepankan nilai-nilai estetika dengan pemahaman-pemahaman yang rasional. Hal tersebut dimotori oleh adanya hasrat. Hasrat manusia untuk memiliki sesuatu, menemukan sesuatu yang lebih, dan sejenisnya. Dan saat ini yang terjadi adalah perbenturan antara budaya global dan dan budaya lokal yang bersifat primordial dan lebih homogen, bersifat kesukuan, dan bahkan penuh dengan hal-hal yang disebut dengan mistik.
Tentunya pertemuan dua kebudayaan tadi akan mengakibatkan benturan budaya yang juga disebut cultural shock. Jika budaya global terlalu kuat, budaya lokal tentu tidak dapat melawan. “Hal tersebutlah yang terjadi saat ini, tapi beberapa kebudayaan telah sukses mengatasi cultural shock ini, misalnya saja kebudayaan Cina dan Jepang,” Ungkapnya
Bangsa-bangsa kulit kuning tersebut dinilai dapat beradaptasi pada benturan kebudayaan global dan lokal yang terjadi. “Ada tiga hal yang dapat dipetik dari pengalaman bangsa kulit kuning tersebut, sering disebut dengan Three Diamond of Cultur,e” ungkap Alwi.
Hal pertama dari tiga permata kebudayaan itu adalah Kohesi. Dengan kohesi, etnik-etnik yang ada akan saling berhimpun, bukannya terpecah dalam konflik. Hal selanjutnya adalah meredam prasangka. Tentunya kehadiran beragam etnik sedikit banyak akan melahirkan prasangka-prasangka, yang jika tidak diolah dengan bijak akan mengakibatkan konflik.
Hal terakhir dari permata kebudayaan ini adalah lahirnya budaya akademik. Budaya akademik tidak akan berjalan apabila kohesi dan upaya untuk meredam prasangka tidak dapat dilakukan.
Untuk mengatasi benturan kebudayaan di tanah Unhas, Alwi menawarkan beberapa solusi. “Yang pertama, harus ada instalasi satu desain mata kuliah yang berfungsi menurunkan prasangka,” ujarnya. Model pembelajaran yang digunakan harus lintas culture. Pembelajaran yang Lintas Fakultas. Tentunya langkah ini dibarengi dengan pendekatan cara pengajaran dosen yang mengedepankan pengalaman lokal. Pengetahuan mahasiswa tidak hanya dijejali dengan hafalan, tapi juga pemahaman dan pengalaman.
Solusi selanjutnya yaitu mengembangkan pengetahuan dari kebudayaan lokal. “Sudah menjadi tugas universitas dan lembaga mahasiswa untuk mempromosikan pengetahuan kebudayaan menjadi sistem rasional,” tambahnya. Contohnya dengan meneliti pengobatan tradisional yang selama ini masih dipandang sebelah mata. “Kita harus memulai pembelajaran dari pengalaman sendiri terlebih dahulu, sebelum akhirnya keluar menuju pengalaman yang baru,” jelas Alwi. Unhas adalah sebuah kultur akademik yang terbangun dari multibudaya yang berbeda. Oleh karena itu untuk menetralisir pertententangan yang lahir, harusnya ada langkah tertentu yang ditempuh universitas itu sendiri,” ungkap Fahmi Syarif, dosen Fakultas Sastra yang sudah menelurkan beberapa karya seperti naskah drama Manusia Perbatasan dan Karaeng Patingaloan.
Memang susah untuk menghidupkan budaya Bugis-Makassar di Unhas, kultur Jawa selama ini bisa diterima dimana saja, kenapa budaya Bugis-Makassar tak bisa hidup di tanah sendiri? “Padahal budaya Bugis-Makassar punya nilai universal yang jika diterapkan sesuai dengan esensinya maka tak bakal mencederai budaya lain yang ada di Unhas” ungkap Supa Atha’na. M11,M29,M33/Ern.

Sumber: idenntitasonline.net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar