Selasa, 01 November 2011

Arsitektur tradisional rumah adat minangkabau


 ARSITEKTUR TRADISIONAL INDONESIA
Dosen : Dr. ANWAR THOSIBO, M.Hum

Arsitektur tradisional rumah adat minangkabau
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            

                    
OLEH :
ERWIN MANSYUR (F61109254)
ARISAL PURNAMA (F61109266)




JURUSAN ARKEOLOGI
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2010





KATA PENGANTAR
             Syukur Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, Dzat semesta alam yang telah melimpahkan karunianya serta memberikan pertolongan kepada setiap hambanya yang patuh dan taat kepadaa-Nya. Sholawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada pengemban risalah suci, nabi Muhammad SAW, yang telah banyak mengajarkan adab dan tatakrama dalam kehidupan, ilmu-ilmu agama dan lainnya sehingga kita khususnya umat muslim dapat lepas dari zaman yang suram, zaman yang penuh dengan kefasikan menjadi zaman yang penuh dengan rahmat tuhan. Makalah ini secarah garis besar membahas tentang  arsitektur rumah adat minangkabau. Atas terselesaikannya karya ilmiah ini saya mengucapkan terima kasih kepada segenap pihak yang telah membantu. Kami  berterima kasih kepada teman-teman  atas segalah bantuannya  yang tidak bisa disebutkan satu persatu namanya yang telah membantu mengatasi masalah-masalah yang dihadapi penulis baik yang bersifat materiil maupun non materiil, sehingga makalah ini bisa diselesaikan tepat pada waktunya.
Demikian yang dapat penulis upayakan, namun hal ini masih belum sempurna dan terdapat banyak kekurangan baik yang berkaitan dengan isi maupun metode penyusunannya. Harapan penulis, semoga makalah ini dapat memberi manfaat bagi pembaca, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan demi perbaikan karya ilmiah ini.

                                            Makassar 13, Maret  2010
                                                                                               Penulis

                                                                                         Erwin mansyur
                                                                                         Arisal purnama

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................. ……………………....1
1.1 Latar Belakang .......................................................................................... ……………………..1
1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................................................1
1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan......................................................................................................1
1.4 Metode Penulisan...........................................................................................................................1  
BAB II PEMBAHASAN..................................................................... ……......................................2
2.1 Proses membuat arsitektur minagkabau……………………………............................................2
BAB III PENUTUP………………………………………………………………………………...18
3.1 Kesimpulan……………………………………………………………………………………...18
3.2 Saran ……………………………………………………………………………………………18
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………………


BAB I
PEND AHULUAN

1.1    Latar Belakang
               Arsitektur nusantara berusaha membuat tinjauan dalam perspektif ilmu arsitektur dengan obyek (salah satunya) adalah arsitektur tradisional/folk architecture/arsitektur vernakular. Antropologi, post kolonialisme, dan arsitektur tradisional adalah wilayah pengetahuan descriptive (penjelasan) bukan prescriptive (resep untuk mendesain). Arsitektur nusantara tidak membatasi geografis, arsitektur nusantara merupakan perubahan cara pandang (Dinapradipta, 2006).
               Arsitektur nusantara menempatkan arsitektur tradisional bukan sebagai bendanya tetapi sebagai cara pandang arsitektur tradisional dari sisi pengetahuan arsitektur (Dinapradipta,2006). Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai Arsitektur Nusantara Minangkabau yang dilihat dari sisi pengetahuan arsitektur bukan pengetahuan antropologi. Dalam hal ini yang dibahas adalah arsitektur rumah tinggal masyarakat Minangkabau.
               Masyarakat Minangkabau berlokasi di Sumatra Barat, sebagian daerah pesisir Barat Sumatra Utara, sebagian daerah propinsi Riau bagian barat, dan sebagian daerah propinsi Jambi bagian Selatan Barat. Dari cakupan wilayah yang didiami oleh Bangsa Minangkabau tersebut, bisa dikatakan bahwa Bangsa Minangkabau menempati wilayah yang luas dan menyebar dari daratan sampai ke pesisir. Tapi asal Bangsa Minangkabau adalah dari daratan. Karena itulah maka Arsitektur Nusantara Minangkabau bisa dikatakan sebagai arsitektur nusantara daratan.

1.2   Rumusan Masalah dan batasan masalah 
Rumusan masalah yaitu pembahasan tentang arsitektur tradisional rumah adat minangkabau.
Adapun batasan masalahnya yaitu hal-hal yang mencakup rumusan masalah diatas.
1.3   Tujuan dan Manfaat Penulisan
       Tujuan yang hendak dicapai penulis dalam penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui   tentang arsitektur rumah adat minangkabau ( rumah gadang ).
1.4   Metodologi yang digunakan dalam menyelesaikan makalah ini
Studi Kepustakaan : yaitu dengan mempelajari dan meriset ke perpustakaan
dari berbagai sumber buku-buku, kumpulan mata studi pelajaran dan data internet yang berkaitan dengan tema makalah ini.
Memeriksa : yaitu memilih data yang telah dikumpulkan


BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Proses  Membuat Arsitektur  Minagkabau 
              Sebagaimana lazim dilakukan dalam masyarakat Nusantara, secara umum proses membangun itu dapat dikatakan terdiri dari empat langkah atau tahapan (Prijotomo, 1995).  
a.       Pertapakan
Langkah atau tahap pertama dari proses membangun adalah proses pertapakan, yaitu proses di mana sebuah tapak ditetapkan, termasuk di sini adalah penetapan tempat-tempat yang akan diperuntukkan bagi berdirinya bangunan-bangunan. Hal pertama dari penentuan tapak adalah mendefinisikan area of ground. Maksud dari area of ground adalah identifikasi tipe-tipe tempat. Bisa saja tempat itu sempit, atau bisa juga sangat luas. Bukan hanya butuh bentuk yang persegi empat, tapi juga yang lain (Unwin, 1997). Dengan mengidentifikasi tempat terlebih dahulu, maka akan dapat ditentukan mana tempat yang sesuai untuk suatu bangunan, sehingga tidak terjadi kekeliruan dalam pembangunan nantinya.
 Untuk mendirikan sebuah Rumah Gadang, masyarakat tidak bisa langsung memutuskan sendiri. Sebelumnya harus dimulai dengan permusyawarahan antara orang-orang yang sekaum. Dalam permusyawarahan tersebut akan dikaji patut tidaknya pembangunan Rumah Gadang tersebut dilaksanakan. Hal ini dilihat dari segi kepentingan satu-satu dan kepentingan tidak rusaknya adat. Misalnya ketentuan adat mengatakan bahwa mendirikan Rumah Gadang pada suatu tempat tertentu atau komunitas tertentu memiliki peraturan yang berbeda dengan tempat dan komunitas lain dalam menentukan bentuk dan ukuran serta gonjong Rumah Gadang tersebut. Rumah Gadang bergonjong empat dan selebihnya, hanya boleh didirikan pada perkampungan yang berstatus Nagari atau pusat Nagari atau komunitas yang disebut dengan Koto. Di perkampungan yang lebih kecil seperti Dusun (Gabungan dari beberapa Taratak atau Taratak yang berkembang) atau yang lainnya hanya boleh mendirikan Rumah Gadang yang bergonjong dua. Sedangkan pada komunitas yang disebut dengan Taratak (Tempat orang berladang secara bersama-sama, bagian yang dikerjakan masing-masing merupakan milik masing-masing. Pimpinannya disebut Tuo (Tua atau Ketua) tidak boleh didirikan rumah yang bergonjong.
Sehubungan dengan ketentuan adat tersebut, dalam musyawarah pembangunan Rumah Gadang juga dikaji letak yang tepat serta uk urannya, serta penentuan waktu mulai mengerjakannya. Hasil mufakat tersebut disampaikan kepada Penghulu Suku untuk menyampaikan rencana pendirian Rumah Gadang itu kepada Penghulu
 

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Bergojong 2                                     bergojong 4                                 bergojong 6                                                                                                                                       
Suku lainnya di dalam Nagari atau Dansanak Penghulu (sama seberat seringan)  (Syamsidar, 1991).
Selain persyaratan tempat yang berhubungan dengan peraturan dan luas perkampungan, terdapat pula persyaratan yang bersifat teknis. Rumah Gadang tidak boleh didirikan pada tanah yang basah, rendah atau labil, atau di atas lahan pertanian. Masyarakat Minangkabau dituntun dalam penggunaan lahan dan tanaman harus disesuaikan dengan kondisi dan sifat masing-masing (Yurnaldi, 2000). Hal ini dikarenakan Rumah Gadang tidak memiliki pondasi yang ditanam, sehingga harus diletakkan di tanah yang stabil. Setiap tahapan dari proses pendiriannya diperhitungkan dengan cara seksama dan dapat dilihat sebagai sebuah pola dari penggunaan tanah dan tumbuh-tumbuhan.
 Soal orientasi Rumah Gadang, harus memperhatikan segi keamanan, kepercayaan, dan kesehatan. Rumah Gadang dibangun berjajar menurut arah mata angin dari Utara ke Selatan. Tapi ada juga pendapat lain yang menyebutkan bahwa orientasi bangunan Rumah Gadang tidak terpaku pada arah mata angin, melainkan terpaku pada letak Gunung Merapi yang dipandang sebagai gunung bertuah karena dalam kisah Tambo (Sejarah kelahiran masyarakat Minangkabau) diceritakan bahwa Datuk Maharajo Dirajo mendarat ke pantai pulau Sumatera karena melihat puncak Gunung Merapi sebesar telur dari arah laut. Kemudian tempat pertama yang dijadikan perkampungan adalah di lereng gunung tersebut. Letak bangunan Rumah Gadang tidak boleh membelakangi Gunung Merapi. Tetapi semenjak adanya jalan raya yang memenuhi hubungan antara satu Nagari dengan Nagari lain atau pembangunan jalan raya dalam Pemerintahan Belanda maka posisi bangunan Rumah Gadang ikut terpengaruh, sehingga banyak yang dibangun paralel dengan jalan.
Pada perkampungan-perkampungan tua kita melihat adanya bangunan rumah Gadang yang membelakangi jalan raya. Hal ini bukanlah karena tempat bangunan dari Rumah Gadang tersebut dilaksanakan demikian. Tetapi karena jalan raya itu dibangun lebih kemudian daripada bangunan Rumah Gadang. Oleh karena itulah bangunan Rumah Gadang itu tidak selalu menghadap ke jalan raya akan tetapi karena kepercayaan rumah Gadang tersebut yang tidak boleh membelakangi Gunung Merapi maka letak dan tempat Rumah Gadang itu selalu lebih berdasarkan kepada kepercayaan akan makna Gunung Merapi sebagai suatu makna yang bertuah dalam kehidupan orang Minangkabau. Gunanya didirikan di sana ialah rumah itu basis bagi kaum untuk bermusyawarah antara mamak dengan kemenakan, tempat mamak memberi petunjuk dan pengajaran kepada anak kemenakannya, tempat anak kemenakan mengadu dan bercerita, dan juga tempat menyimpan barang-barang pusaka peninggalan mamak-mamak sebelumnya. Jadi Rumah Gadang ini adalah rumah pusako dalam kaum itu (Syamsidar, 1991). Paruik (Tanah yang dulunya digarap oleh ninik mereka).Letak Rumah Gadang tidak rata dengan tanah, tapi memiliki platform yang dinaikkan. Platform yang dinaikkan menciptakan level permukaan horizontal yang diangkat di atas lahan yang asli. Bisa tinggi bisa juga rendah. Bisa besar, berupa panggung atau teras, bisa juga berukuran sedang, seperti meja atau altar, atau bisa juga kecil, berupa anak tangga (Unwin, 1997). Jadi Rumah Gadang bisa dikatakan sebagai rumah panggung, karena lantainya terletak jauh di atas tanah. Lantai terbuat dari papan. Ke ujung kiri kanan dari lantai ditinggikan satu tingkat atau dua tingkat dinamakan anjung. Bila Rumah Gadang tidak beranjang maka lantai yang sebelah kedua ujungnya juga tinggi yang merupakan lantai perahu. Ketinggian panggung atau platform Rumah Gadang adalah sekitar satu atau dua meter di atas permukaan tanah. Ruangan di bawah lantai ditutup anyaman bambu untuk kandang

                                                                                               
               Dalam mengidentifikasi tempat, bisa menggunakan marker atau tanda. Marker mengidentifkasi tempat yang khusus dengan cara yang paling dasar. Bisa saja berupa batu atau bendera (Unwin, 1997). Sesuatu yang menjadi tanda dari Rumah Gadang adalah bentuk atapnya yang khas, yaitu menjulang ke atas sampai titik terkecil di ujung sopi. Bentuknya secara keseluruhan menyerupai tanduk kerbau.
·         Penafsiran

               Masyarakat Minangkabau merupakan masyarakat yang berkelompok dan memiliki peraturan serta pemimpin dalam kelompoknya. Mereka sangat menghormati keputusan pemimpin dalam menentukan segala sesuatu, termasuk yang berkaitan dengan pendirian bangunan. Untuk itulah sebelum mendirikan suatu bangunan diadakan musyawarah terlebih dahulu antar pemimpin desa tentang layak tidaknya atau boleh tidaknya bangunan ini didirikan.
Seperti yang sudah dijelaskan di atas, tempat atau tapak di mana bangunan akan didirikan dapat menentukan bentuk bangunan tersebut. Di Nagari boleh didirikan Rumah Gadang yang bergonjong empat atau lebih. Hal ini disebabkan karena Nagari merupakan perkampungan yang terbesar dan merupakan gabungan antara Dusun, Koto, dan Taratak sehingga sudah dianggap layak memiliki bangunan yang besar. Sedangkan Dusun, memiliki wilayah yang luasnya di bawah Nagari sehingga hanya diperbolehkan memiliki bangunan yang tidak terlalu besar, hanya memiliki gonjong dua. Sementara Taratak tidak diperbolehkan memiliki bangunan yang bergonjong karena Taratak merupakan permukiman yang paling luar dari kesatuan Nagari dan belum punya Penghulu.
               Dalam hal orientasi bangunan yang tidak boleh membelakangi Gunung Merapi, disebabkan karena Gunung Merapi dipercaya merupakan cikal bakal tempat terbentuknya masyarakat Minangkabau sehingga Gunung Merapi memiliki makna yang dalam yang dipercaya sebagai sumber kehidupan dan keberuntungan. Orang yang berani mengambil resiko mendirikan bangunan Rumah Gadang dengan membelakangi Gunung Merapi dipercaya tidak akan mendapatkan kejayaan dan keselamatan dalam hidupnya.
Rumah Gadang merupakan Rumah Panggung. Hal ini bisa jadi disebabkan karena daerah Sumatra Barat yang merupakan lokasi masyarakat Minangkabau bermukim merupakan lokasi yang rawan binatang buas, jadi didirikan rumah panggung adalah dengan maksud sebagai tempat perlindungan dari binatang buas. Selain itu rumah panggung berarti bahwa kedudukan manusia memiliki derajat yang lebih tinggi daripada hewan mengingat kolong di bawah rumah diperuntukkan sebagai kandang hewan peliharaan.
b.      Perangkaan

               Langkah atau tahap kedua adalah proses perangkaan. Langkah ini termasuk penyiapan hingga pemberdirian rerangka atau kerangka bangunan. Kerangka bangunan ini biasa dikenal dengan sebutan struktur utama bangunan. Proses perangkaan bangunan ini dapat dikatakan berlaku sebagai langkah kedua, tak peduli apa kerangka bangunan yang  akan dipergunakan, kerangka/struktur batang ataukah kerangka/struktur bidang (dinding pemikul)(Prijotomo, 1995)
              Untuk mendirikan Rumah Gadang dicarikan bahannya ke hutan di mana dipilih kayu yang baik dan tahan lama yang kemudian ditebang dan dipotong menurut ukuran yang dikehendaki, lalu dibawa bersama-sama ke tempat rumah itu akan didirikan. Sebagai sandi tiap-tiap tonggak akan ditegakkan. Pada masa sekarang sebagai sandi telah ditukar dengan mempergunakan semen yang dicor. Setelah persiapan-persiapan kerangka rumah sudah siap untuk ditegakkan, selanjutnya tahap kegiatan tersebut dengan batagak tiang atau batagak kudo-kudo, yaitu kegiatan di mana seluruh tiang dan kerangka rumah mulai dari bangunan bawah, bagian tengah, bagian atas telah siap dilakukan. Yang dibangun pertama kali adalah rumah bagian bawah. Yang dimaksud dengan bagian bawah adalah dari sandi sampai kepada kandang. Mula-mula tanah di mana tempat bangunan itu didirikan diratakan. Sudah itu dicari batu yang hampir bersamaan besarnya yang digunakan sebagai sandi dari bangunan. Sandi dari bangunan itu ditanamkan ke tanah sebagai tempat tiang-tiang rumah atau tonggak ditegakkan. Biasanya sandi tersebut luas permukaannya lebih luas daripada garis menengah lingkaran tonggak. Sandi tersebut tidak dipersiapkan atau dibentuk dari batu yang berukuran besar melainkan dicari batu yang mempunyai permukaan yang datar, dan dapat ditanamkan sebagian dari badan batu tersebut ke dalam tanah. Penentuan letak dan bentuk sandi serta cara pemasangannya sangat menentukan kekokohan Rumah Gadang tersebut. Antara lantai dan sandi-sandi yang merupakan tempat berdirinya tiang rumah disebut dengan kandang. Fungsi kandang adalah untuk memelihara ternak seperti ayam, itik, kambing, kerbau, dan sapi. Maka antara tiang-tiang dari atas sendi ke lantai diberi sasak, yakni ditutup atau dipagar dengan bambu yang dianyam sehingga pagar itu satu dengan yang lainnya saling terikat. Pagar yang terbuat dari bambu ini disebut dengan sasak. Bila sasaknya terbuat dari bagian bambu yang dibelah dengan ukuran 7 cm disebut dengan sasak gadang. Sedangkan bila dibelah dengan ukuran 2 sampai 3 cm disebut dengan sasak bugih. Cara pembuatan dari sasak ini adalah dengan membelah-belah bambu sesuai dengan besarnya yang dikehendaki dengan merautnya sehingga bilah-bilah dari bambu tersebut yang tajam menjadi tumpul. Kemudian setelah bambu menjadi sasak dilakukan pembenaman ke dalam lumpur yang selalu digenangi oleh air sampai dengan bambu tersebut berubah bentuk dan warnanya menjadi hitam. Masa pembenaman ini lebih lama lebih baik tetapi tidak melebihi dari jangka waktu 2 tahun.
Pada Rumah Gadang yang asli tangganya terbuat dari kahu ( Papan tebal). Induk dari tangga tersebut dilobangi dengan mempergunakan pahat sebanyak 7 atau 9 buah atau yang merupakan angka ganjil, gunanya untuk kedudukan anak tangga. Lobang itu harus dibuat miring, supaya kalau nanti tangga itu ditegakkan akan datar kembali Teknik dan cara pembuatan bangunan Rumah Gadang pada bagian tengah pada dasarnya merupakan kelanjutan dari teknik dan cara pembuatan atau mendirikan tiang-tiang atau tonggak-tonggak yang ada dalam sebuah Rumah Gadang seperti disebut dengan tiang: tonggak tuo maksudnya tiang yang dituakan di mana pada tiang tersebut menghubungkan seluruh tiang-tiang bangunan rumah gadang. Tiang panjang merupakan tiang-tiang yang melintang berdekatan dengan tonggak tua dan ada lagi tiang yang disebut dengan tiang dalam, tiang temban, tiang dapur, tiang tepi, tonggak gantung yang kesemuanya adalah tiang-tiang yang membentuk kerangka Rumah Gadang menjadi empat persegi panjang dengan dibatasi oleh tiang-tiang pada garis tengah rumah. Tiang Rumah Gadang berbentuk dasar bulat yang dibuat bersegi-segi. Tidak ada tiang rumah Gadang yang terbuat dari kayu bulat. Tiang merupakan bagian penting dari bangunan. Segi-segi dari tiang tidak sama besarnya. Tiang yang besar terdapat pada tengah bangunan. Tiang yang berada di tengah bangunan dibuat bersegi 8 sedangkan yang terletak di samping bersegi 5. Tiang-tiang ini banyak fungsinya, yang mana tiap nama menunjukkan fungsinya yaitu tiang : tepi, temban, tengah, dalam panjang salek, dapur, yang kesemuanya diberi ukiran yang sesuai menurut fungsinya (Syamsidar, 1991).
Antara dua deretan tiang-tiang yang dikasarkan merupakan satu ruangan. Jumlah seluruh tiang-tiang badan istana adalah 10 x 5 = 50 buah dengan 9 ruangan. Jumlah tiang-tiang anjung masing-masing adalah 9 buah yang terdiri dari dua ruangan. Jadi jumlah seluruh tiang anjung kiri kanan adalah 18 buah. Rumah untuk tangga mempunyai tiang yang agak kecil 4 buah. Jadi jumlah seluruh tiang-tiang istana adalah 50+18+4 buah=72 buah tiang besar kecil (Syamsidar, 1991).
Tiang utama rumah didirikan tegak, tiang luar rumah lebih tua agak condong ke luar sedikit. Hal itu untuk memberi sentuhan  garis atap yang dibangun ke atas dan ke luar dengan cara balok-balok melintang dan kerangka penguat, puncaknya diperluas dengan pemakaian penunjang dan pengikat (Tjahjono, 2002).


 

1                   2                 3                 4

A          5                   6                 7                  8          B

9                   10                 11           12

                                                                 13                 14

C



D
Keterangan
·         A : Lanjar
·         B : Ruang
·         C : Dalam (13-14 bukan tiang utama)
·         D : Lebar

 
Gambar denah Letak tiang-tiang dalam Rumah Gadang

Antara tiang-tiang tersebut antara bagian tengahnya dihubungkan oleh rasuak, yaitu merupakan dasar dari bagian tengah dari bagian rumah gadang. Di atas rasuak yang dibantu oleh hariau (Kayu untuk memperkuat kedudukan bangunan lantai ) dibangun lantai yang dari ujung ke ujungnya meninggi dan adakalanya dari ujung ke ujungnya bertingkat yang disebut dengan anjuang. Lantai dari bangunan Rumah Gadang kesemuanya terbuat dari papan yang diketam secara lurus dan kemudian disusun secara datar dan rapat di atas jariau-jariau yang telah dipersiapkan untuk itu (Syamsidar, 1991). Tiang-tiang rumah gadang tidak ditanam ke dalam tanah. Tiang-tiang ini hanya diletakkan di atas batu layah. Untuk menghubungkan tiang-tiang dan bagian rumah tidak digunakan paku, melainkan pasak dari bambu (Yurnaldi, 2000).

·         Penafsiran

               Kayu yang dipilih dalam pembangunan Rumah Gadang adalah kayu yang terbaik. Terutama yang akan digunakan sebagai tiang. Hal ini disebabkan karena tiang-tiang pada banguan Rumah Gadang tidak ditanam ke dalam tanah sehingga diperlukan kayu yang kuat. Kayu tersebut dipotong dengan besaran yang berbeda tergantung nantinya akan dijadikan tiang yang mana. Ada beberapa macam tiang yaitu tuo, tepi, temban, tengah, dalam, panjang, salek, dan dapur. Tiang-tiang tersebut memiliki ukuran yang berbeda-beda karena memiliki fungsi yang berbeda. Tonggak tuo berada di tengah bangunan memiliki segi 8 dan ukuran yang paling besar. Hal ini disebabkan karena tiang ini merupakan tiang utama yang menyangga bangunan Rumah Gadang dan menghubungkan antara tiang-tiang yang lain. Tiang-tiang yang lain memiliki segi 5 dengan besaran yang lebih kecil karena fungsinya bukan sebagai kolom struktur. Dari susunan tiang-tiang tersebut dapat disimpulkan bahwa bangunan Rumah Gadang memiliki jenis struktur/kerangka batang.
c.        Persungkupan

               Langkah ketiga yang ditempuh adalah proses persungkupan, yakni proses memasang bidang lantai, dinding dan penyekat, serta pemasangan penutup atap bangunan (Prijotomo, 1995). Pada Rumah Gadang, kegiatan ini secara berurutan adalah memasang atap, memasang lantai, kemudian memasang dinding, lalu langsung membuat kamar dan seterusnya menyasak rumah atau melekatkan dinding-dinding yang terbuat dari bambu.
·         Roof or canopy

               Roof memisahkan tempat dari langit, melindungi dari matahari dan hujan. Roof juga mendefinisikan area tanah di bawahnya. Roof bisa jadi kecil sebagai sebuah balok di atas pintu, atau bisa jadi sebesar  stadion. Karena gaya gravitasi roof membutuhkan penyangga bisa berupa dinding atau kolom (Unwin, 1997). Menurut bentuknya, Rumah Gadang biasa disebut Rumah Gonjong atau Rumah Bagonjong, karena atapnya berbentuk bergonjong runcing menjulang, adalah nama yang membedakan dengan rumah biasa. Lengkungan pada atapnya tajam seperti garis tanduk kerbau, sedangkan lengkung pada badan rumah landai seperti badan kapal (Syamsidar, 1991). Gonjong adalah bagian yang paling tinggi dari setiap ujung atap yang menghadap ke atas, dan merupakan ujung turang yang dibalut dengan timah yang berbentuk:
• 2 labu-labu di bagian bawah
• 1 kelimbing di atas labu-labu
• 1 anting-anting di atas belimbing
• 1 ujung yang tajam di atas anting-anting
              Antara labu-labu, belimbing dan anting-anting ada peraturan yang searah dengan ujung yang paling atas. Kombinasi bentuk gonjong inilah  yang seperti ujung tanduk kerbau jantan, dan dinamakan ‘isendak langit’. Turang adalah bagian di bawah gonjong sampai ke batas garis lurus bubungan atas kepemimpinan. Turang ini adalah tempat penahan gonjong. Kombinasi bentuk turang dengan gonjong itulah yang berbentuk ‘Rabuang mambacuik’. Keseluruhannya (antara Turang dan Gonjong) disebut Gonjong saja.
              Atap terbuat dari ijuk. Saga ijuk diatur susunannya dengan nama Labah Mangirok atau Labah Maraok dan Bada Mudiak. Bubungan seperti legkungan sayap burung burak akan terbang. Lengkungan bubungan terletak antara dua gonjong yang ditengah. Gonjongnya seperti rebung yang mula keluar dari tanah. Pucuk gonjong mencuat ke atas (Syamsidar, 1991).
·         Lantai
                Lantai terbuat dari papan. Ke ujung kiri kanan dari lantai ditinggikan satu tingkat atau dua tingkat dinamakan anjung. Bila Rumah Gadang tidak beranjang maka lantai yang sebelah kedua ujungnya juga tinggi merupakan lantai perahu.
Pada Rumah Gadang yang asli, lantai tidak terbuat dari kayu, akan tetapi dibuat dari bambu yang dipecah dan didatarkan yang disebut dengan palupuah. Jadi tidak menggunakan paku di dalam pemasangannya tetapi hanya menggunakan rotan yang telah dibelah untuk mengikat sehingga lantai tersebut tidak terlepas dan bercerai berai (Syamsidar, 1991).
·         Barrier

  Sebuah barrier membagi satu tempat dengan yang lain. Bisa berupa dinding, tapi bisa juga berupa pagar. Tapi bisa juga barrier secara psikologis yang berupa garis pada lantai (Unwin, 1997) Barrier pada bangunan Rumah Gadang berupa dinding penyekat. Bangunan dinding rumah yang membesar ke atap disebut dengan silek membebaskannya dari terpaan tempian. Di bawah lantai terdapat ruang kosong yang dinamakan kolong. Kolong tersebut menjadi tempat  penyimpanan alat-alat pertanian atau juga tempat perempuan bertenun. Seluruh kolong ditutup dengan ruang atau sasak yang berkisi jarang. Kolong ini ditutup dengan mempergunakan bambu yang dianyam langsung waktu menutup kolong itu. Cara membuatnya dilakukan dengan bergotong royong. Mula-mula diambil bambu yang panjang beberapa potong direntangkan pada tepi kandang dan diatur jaraknya, kemudian diselip dari atas ke bawah, sehingga merupakan anyaman. Untuk lebih kuat dan kokoh, tiap-tiap menyelip ini antara yang satu dengan yang lainnya harus berhadapan. Pekerjaan ini dinamakan menyasak. Membuat janjang dengan mempergunakan papan tebal dan lebar, induknya dilobangi dengan menggunakan pahat dan gergaji sebanyak 7 atau 9 buah sebagai tempat bagi anak janjang. Lobang dibuat miring, karena jenjang ini akan ditegakkan miring di tengah-tengah rumah (Syamidar, 1991). Dinding-dinding tersebut membagi Rumah Gadang menjadi beberapa ruangan. Untuk pembuatan dinding dan pintu-pintu serta bilik atau kamar pada bagian tengah Rumah Gadang biasanya telah diatur berdasarkan ruang atau bagian yang diatur oleh tiang-tiang yang ada. Sebuah Rumah Gadang biasanya hanya mempunyai sebuah pintu saja dan terletak pada bagian ruang yang di tengah. Sedangkan jendela adalah setiap satu ruang Rumah Gadang ada satu jendela yang kesemuanya menghadap pada bagian depan rumah. Pada setiap pintu ada bandue (dasar daripada pintu) (Syamsidar, 1991). Makna perlambangan
Rumah Gadang secara memanjang dibagi atas beberapa ruang/lanjar. Maka secara melebar ia dibagi kepada didieh. Dan pada sebagian Rumah Gadang pada ujung kiri dan kanan ada ruangan yang disebut dengan anjuang dan ada kalanya ada ruangan yang menjorok keluar di atas pintu masuk yang disebut dengan Balai( yang digunakan untuk menerima mati)(Syamsidar, 1991). Ruangan dalam Rumah Gadang dibagi atas beberapa bagian yaitu didieh yang menghadap ke depan atau bagian depan yang merupakan ruang terbuka, dan didieh yang arah ke dalam disebut Bandua digunakan sebagai Biliek (kamar tidur), dan di tengahnya sebagai tempat sirkulasi keluar masuk (Syamsidar, 1991). Makna perlambangan Orang Minang membandingkan ujung yang agung dengan tanduk ’kerbau kemenangan’ yang legendaris dalam pertandingan yang diselenggarakan oleh pesaing dari Jawa (Tjahjono, 2002)

·         Penafsiran
             Urutan pembuatan Rumah Gadang dalam kajian persungkupan ini berbeda dengan urutan kebanyakan bangunan. Urutannya terbalik yaitu dari atap, lalu lantai, kemudian baru dinding. Hal ini bisa jadi disebabkan karena atap berfungsi untuk melindungi bangunan sehingga ditutup terlebih dahulu supaya pada pengerjaan lantai dan dinding nantinya tidak terganggu oleh panas dan hujan. Kemudian lantai dikerjakan sesudah atap karena lantai merupakan tempat berpijak untuk dinding dan dapat memudahkan dalam pengerjaan dinding bila lantai sudah terpasang. Lalu yang terakhir adalah pengerjaan dinding. Dinding dilakukan terakhir setelah atap dan lantai sehingga mudah dalam pengerjaanya. Pembagian ruangnya pun telah terbantu oleh tiang-tiang yang sudah terpasang sebelumnya. Atap yang bergonjong menunjukkan kebesaran Bangsa Minangkabau. Jumlah gonjong tidak bisa ditentukan secara bebas oleh pemilik rumah. Dalam menentukan jumlahnya harus memperhatikan peraturan adat yang berlaku. Susunan atap sudah merupakan ketentuan dalam peraturan adat Minangkabau. Pada Rumah Gadang yang asli, lantai tidak menggunakan kayu melainkan bambu. Ini disebabkan karena bambu lebih mudah didapat daripada kayu. Terlebih lagi bambu membutuhkan perawatan yang lebih mudah daripada lantai kayu. Penutup ruang utama dan kolong berasal dari material yang berbeda. Hal ini disebabkan karena fungsi dari kedua ruangan itu berbeda. Untuk kolong cukup ditutup dengan sasak yang berkisi jarang karena yang menghuni kolong hanyalah hewan-hewan peliharaan atau alat-alat pertanian. Sedangkan ruang utama ditutup dengan kayu yang masif karena aktivitas di dalamnya membutuhkan privasi penghuninya. Hanya ada satu pintu di Rumah Gadang. Hal ini disebabkan karena Rumah Gadang merupakan rumah panggung yang membutuhkan tangga untuk memasukinya. Karena tangga yang tersedia hanya satu, maka hanya di situlah letak pintu yang ada. Karena merupakan sebuah pemborosan jika dibangun tangga yang lebih dari satu.
d.       Persolekan

             Langkah keempat, sekaligus dipandang sebagai langkah terakhir adalah proses persolekan. Proses ini bisa juga dikenal dengan proses perampungan (finishing). Walaupun sebuah bangunan kayu misalnya, tidak melakukan pengecatan atau pelapisan (jadi dibiarkan sebagaimana bahan aslinya) tidaklah berarti bahwa proses persolekan tidak terselenggara. Pemasangan atau penempelan benda-benda tertentu harus dipandang sebagai sebuah tindakan dalam langkah persolekan ini.
               Kegiatan terakhir dari tahapan pembangunan Rumah Gadang ialah mengukir dan mencat bagian-bagian dari bangunan yang diperlukan ukiran, dan yang paling akhir adalah membuat parit di sekeliling rumah. Dinding Rumah Gadang juga berukir dengan ukiran yang telah tertentu. Atap Rumah Gadang juga ada ukiran yang relatif sifatnya. Relatif di sini berarti bahwa setiap Rumah Gadang tidak memiliki motif ukiran yang sama.
Salah satu hal yang sangat penting pada ukiran rumah adat Minangkabau adalah nama ukirannya. Nama ukiran dapat dilihat dari kaitan ukiran dengan kehidupan masyarakat. Setiap nama ukiran melambangkan suatu gejala hidup dalam masyarakat yang menjadi pedoman dalam penyelenggaraan kehidupan masyarakat Minangkabau. Penggambaran kehidupan gejala alam dapat dilihat dari nama ukiran yang berasal dari nama tumbuh-tumbuhan dan nama binatang. Sedangkan penggambaran nilai-nilai kehidupan manusia dalam masyarakat dapat dilihat dari nama ukiran yang berasal dari kata-kata adat. Bentuk yang mula-mula timbul adalah bentuk realis, yaitu meniru bentuk alam seperti apa yang dilihatnya. Tetapi kemudian bentuk-bentuk alam itu mulai ada yang dirubah sesuai dengan pandangan dan selera pembuatnya. Tetapi tidak berarti bahwa bentuk realis sudah ditinggalkan sama sekali. Biasanya kedua bentuk itu dikombinasikan dalam sebuah ukiran. Hal itu terlihat menonjol pada ukiran Minangkabau. Pada umumnya motif dasar yang banyak ditiru adalah bentuk tumbuh-tumbuhan dan bentuk binatang. Suatu hal yang menjadi prinsip motif ukiran rumah Minangkabau adalah motif itu diambilkan dari benda-benda mati seperti pemandangan, pasir putih di pantai, gantungan kain dan sebagainya.
Ukiran adat Minangkabau tidak memiliki pola tertentu, sesuai dengan sifat gejala alam yang sukar dibuat polanya. Pola ukiran Minangkabau hanya terletak dalam pikiran dan keahlian masing-masing tukang ukir dalam memindahkan bentuk-bentuk alam ke dalam bentuk-bentuk ukiran. Proses pemindahan bentuk alam ke bentuk ukiran hanya terjadi dengan melihat bentuk alam, kemudian melalui proses abstraksi alam pikirannya, lalu dipahatkan ke atas kayu yang hendak  diukir. Dengan demikian cetakan atau pola tetap tidak dikenal dalam ukiran Minangkabau. Di samping itu prinsip pokok dalam ukiran Rumah Adat Minangkabau disebutkan dalam kata-kata adat yang sudah mentradisi dalam kehidupan masyarakat. Ukiran dalam Rumah Gadang tidak dibiarkan polos tanpa warna. Semua warna dipakai untuk menghidupkan seni ukiran. Warna dasar yang digunakan adalah warna merah coklat, dibumbui dengan warna-warna lain yang cocok sehingga tiap ukiran memiliki bentuk yang sesuai dengan kenyataannya. Ukiran tidak diletakkan di sembarang tempat. Sebelum ukiran dibuat harus dipikirkan lebih dahulu motif ukiran yang sesuai dengan tempat di mana ukiran itu akan ditempatkan. Umumya orang Minangkabau akan selalu terpancing dengan sifat alam di sekitarnya baik itu merupakan gerak-gerik isyarat ataupun bersifat lambang. Jadi untuk menempatkan suatu ukiran itu hendaknya tepat pada sasarannya.
Ukiran akar-akaran dapat kita temui pada tempat-tempat yang mengundang orang harus terlebih dahulu menggunakan akal pikiran sebelum bertindak, yaitu ditempatkan di tiang-tiang, di pintu gerbang, di pintu masuk di rangkiang. Begitu juga dengan penempatan ukiran yang banyak melambangkan bunga-bunga. Kebanyakan ukiran bunga bungaan ini ditempatkan di tempat-tempat yang cepat terpandang seperti di pintu-pintu, jendela-jendela, sampai ke bubungan atap. Ukiran yang bermotif umbi-umbian dan daun-daunan banyak terdapat pada pinggang rumah dan lisplang dalam kamar. Sedangkan untuk ukiran yang bermotif binatang bisa ditempatkan di dalam kamar maupun di luar kamar. Ukiran yang terdapat di dalam kamar adalah yang bermotifkan binatang piaraan seperti kucing lalok, kucing menyusukan anak, itiak pulang patang, dan lain-lain. Sedangkan yang bermotif binatang liar kebanyakan di tempatkan di tempat terbuka seperti alang bebega, gajah badorong, kijang lari, ruso balari dalam ransam, harimau dalam parangkok, kudo manyipak, dan lain-lain. Untuk ukiran ramo-ramo, kunang-kunang berabah mandi, alang babega, sikumbang janti tantandu bararak, sipaduik manyosok bungo, banyak terlihat pada pintu-pintu kamar anak gadis. Sedangkan pada pintu bujangan banyak dijumpai ukiran paruah anggang, kudo manyipak, takuak kodo manyipak, lokan-lokan, kaluang bagayuik, kijang lari, dan lain-lain.
Pada bandua ayam (Bagian memanjang bawah jendela) dihiasi dengan tiga jenis ukiran dengan nama aka cino bapilin, siriah gadang, dan sikambang manih. Pada bagian dinding yang lebih luas dihiasi dengan ukiran yang bernama pucuak rabuang, aka cino dan tabendang ka langik. Pada ventilasi di atas jendela dihiasi ukiran dengan nama sikambang manih. Pada ujung atap dihiasi ukiran pisang sasikek, tantadu bararak dan itiak pulang patang. Pada pintu masuk dihiasi ukiran daun bodi, bungo lado, buah palo, pucuak rabuang (Yulnardi, 2000). Dewasa ini muncul ukiran-ukiran yang ditata dengan menggunakan tempelan pecahan kaca, menjadikan penampilan ukiran berkesan lebih semarak (Minarsih, 1998)
·         Makna dan Perlambangan

              Tiap-tiap ukiran mempunyai makna dan maksud tersendiri. Hal itu juga berhubungan dengan tempat diletakkannya ukiran tersebut. Berikut adalah arti dari beberapa buah ukiran:
1. Aka Bapilin (akar berpilin). Artinya bahwa tindakan orang Minangkabau tidak ada yang sia-sia, semuanya harus ada maksud dan tujuan. Oleh karena itu tidak boleh putus asa, karena manusia sudah dibekali dengan akal pikiran untuk memikirkan segala sesuatu yang berguna untuk hidupnya.
2. Kaluak paku (gulungan pucuk pakis muda). Ukiran ini melambangkan tanggung jawab seorang mamak terhadap kemenakan di rumah orang tua, juga sebagai ayah di rumah isteri.
3. Bungo mantimun (bunga mentimun). Ukiran ini menggambarkan bahwa sesuatunya itu harus dibiarkan berkembang sesuai dengan kodratnya. Manusia hanya memelihara supaya perkembangannya jangan terhalang, bahkan harus dipupuk supaya perkembangan yang sudah ada jangan sampai mundur kembali.
4. Daun kacang goreng. Ukiran ini menggambarkan bahwa segala sesuatu yang terdapat di alam memiliki tanda-tanda yang menunjukkan keadaan alam itu sendiri.
5. Daun sirih. Ukiran ini menggambarkan konsep-konsep dalam sistem sosial orang Minangkabau.
6. Bada mudiak (iringan ikan teri ke hulu sungai). Ukiran ini menggambarkan kehidupan yang seia sekata dalam pergaulan masyarakat, tidak terdapat saling pertentangan.
7. Itiak pulang patang (itik pulang sore). Ukiran ini menggambarkan kehidupan yang santai sesudah berusaha dan  bekerja seharian untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Bermakna keteraturan, ketertiban dan kedisiplinan.
8. Kuciang lalok (kucing tidur). Ukiran ini menggambarkan keadaan orang yang malas seperti kucing tidur.
9. Limpapeh (lipas besar). Ukiran ini menggambarkan bila dalam sebuah rumah adat terdapat anak gadis yang cantik, maka kepadanya diberi nama julukan limpapeh.
10. Ramo-ramo (kupu-kupu). Ukiran ini menggambarkan tentang pusaka Minangkabau yang tetap, tidak berubah dari dahulu sampai sekarang, walaupun para pendukungnya sudah silih berganti. Pusaka Minangkabau yang dimaksudkan adalah adat Minangkabau.
11. Sikambang manih. Ukiran ini bermakna kemeriahan, keramahan, dan kesopanan.
12. Aka cino. Ukiran ini bermakna kehaluasan dan keserasian.
·         Penafsiran

               Ukiran merupakan upaya dari masyarakat Minangkabau dalam memperindah bangunannya. Ukiran juga melambangkan identitas dan kejayaan penghuni bangunan. Semakin penuh ukiran menyelubungi bangunan, menunjukkan semakin jayanya keluarga yang menempati rumah tersebut.
              Ukiran yang terdapat pada Rumah Gadang adalah ukiran yang menggambarkan sesuatu yang ada di alam seperti tumbuhan dan hewan. Kehidupan manusia tidak bisa lepas dari siklus kehidupan alam yang terjadi di luar kuasa manusia. Begitu juga dengan kehidupan masyarakat Minangkabau. Mereka tidak bisa hidup lepas dari alam. Karena itulah mereka menorehkan alam ke dalam bangunannya dalam bentuk ukiran Ukiran-ukiran yang bertemakan tumbuh-tumbuhan dan bunga-bungaan sering dijumpai di tempat yang mudah dilihat oleh orang luar. Ini menunjukkan bahwa masyarakat Minangkabau suka dengan segala bentuk keindahan dan diharapkan supaya orang lain ikut merasakan segala keindahan tersebut dengan menempatkannya di tempat yang mudah dilihat.Ukiran-ukiran yang berwujud hewan peliharaan sering dijumpai di dalam kamar, karena letak hewan peliharaan adalah di dalam rumah.
               Sebaliknya, letak hewan liar adalah di luar rumah, karena itu ukiran yang menggambarkan hewan liar diletakkan di luar rumah. Ukiran-ukiran dan warna-warna yang disematkan pada seluruh bagian Rumah Gadang memperkaya makna dan semakin memperindah tampilan Rumah Gadang. Rumah Gadang sudah memiliki bentuk yang unik walaupun tanpa ukiran. Dengan ukiran, maka bentuk yang unik tersebut semakin memiliki banyak makna dan menjadi semakin indah.
·         Upacara pada setiap langkah/proses pembuatan
 Di dalam setiap langkah itu, bisa saja terselenggara upacara dan tatacara tertentu yang harus diselenggarakan oleh masyarakat bersangkutan. Ini berarti bahwa dalam proses membangun itu terselenggara pula sebuah organisasi dan pengelolaan konstruksi/pembangunan. Sementara itu, terhadap keberadaan bangunan dalam setiap langkah itu, bisa saja didapatkan makna dan atau simbolisasi tertentu. Memang, makna dan simbolisasi itu bisa saja terberikan setelah seluruh proses terjalani, tetapi di sini dianggap bahwa makna dan simbolisasi itu terjumpai/terdapati di dalam masing-masing langkah. Maksudnya, makna dan simbolisasi bisa saja ditempatkan di dalam penggal-penggal langkah dari proses pengadaan bangunan (Prijotomo, 1995).
Dalam masyarakat Minangkabau, upacara-upacara yang dilakukan sebelum mendirikan bangunan dikenal dengan upacara yang disebut dengan batoboh dan me orak rabo. Upacara batoboh adalah upacara yang dilakukan untuk memasang niat dalam rangka mengambil kayu ke hutan sebagai bahan bangunan. Upacara ini dilaksanakan di hutan tempat penebangan kayu. Sedangkan me orak rabo berarti melakukan pembersihan atau mendatarkan tempat dari semak-semak yang harus dibuang sehingga tempat bangunan yang akan dibangun. menjadi datar dan jelas sehingga mudah dilakukan pengukuran untuk meletakkan tiang-tiang. Upacara ini juga bermaksud untuk membersihkan setan-setan halus yang ada di tempat itu. Upacara ini dilakukan di tempat bangunan akan didirikan.
Selain itu terdapat pula upacara yang disebut dengan mencataktiang tua atau mencacak tonggak tuo yaitu pekerjaan yang pertama yakni membuat tiang utama. Mencacak berarti memahat atau melobangi tiang yang pertama yang dianggap tertua. Upacara ini dianggap sebagai waktu peresmian bangunan akan didirikan dan dilaksanakan di halaman atau di tempat bangunan akan didirikan.
Ketika mendirikan bangunan, terdapat satu upacara yang disebut dengan nama batagak rumah atau batagak kudo-kudo. Batagak rumah berarti menegakkan tiang-tiang rumah di atas sandi rumah yang telah ditetapkan. Batagak kudo-kudo memasang tiang-tiang yang tegak lurus dan melintang tempat pemasangan atap yang berbentuk pelana kuda sebagai dasar atap bangunan rumah yang bergonjong. Tujuan upacara ini adalah untuk mendapat restu dari nagari dan mendapat dorongan moril dalam melaksanakan pembangunan tersebut.
Setelah bangunan selesai dibangun juga dilaksanakan upacara. Pada bangunan Rumah Gadang, upacara ini disebut dengan upacara menaiki rumah. Karena tiap-tiap bangunan yang telah selesai akan segera ditunggui atau dihuni oleh pemilik rumah. Tujuan dari upacara ini selain peresmian bahwa bangunan itu akan dihuni, juga merupakan tanda ucapan terima kasih dan permohonan doa restu kepada kaum kerabat yang sudah berperan serta dalam pendirian bangunan tersebut. Upacara ini diselenggarakan pada bangunan yang bersangkutan (Syamsidar, 1991).
·         Penafsiran

               Sebagai masyarakat yang masih menjunjung tinggi adat istiadat, masyarakat Minangkabau masih melakukan upacara-upacara dalam mendirikan bangunan, yang mana upacara-upacara tersebut telah dilaksanakan secara turun temurun sejak para pendahulunya. Masih dilaksanakannya upacara-upacara tersebut antara lain disebabkan oleh masih percayanya masyarakat Minangkabau terhadap mitos-mitos yang ada.
Apabila dalam mengambil kayu di hutan tanpa dilaksanakan upacara sebelumnya, dikuatirkan kayu yang ditebang berasal dari pohon yang ‘berpenghuni’. ‘Penghuni’ tersebut bisa jadi menjadi marah dan rumah yang dibangun nantinya menjadi tidak aman. Jadi upacara yang dilakukan juga memiliki maksud meminta ijin kepada para ‘penghuni’ untuk memotong ‘tempat tinggalnya’ untuk digunakan sebagai bahan bangunan. Begitu juga yang terjadi dengan upacara di tapak bangunan. Tapak yang kosong, bukan berarti benar-benar ‘kosong’. Membangun rumah di tapak tanpa melakukan upacara pendirian dipercaya bisa mengakibatkan bencana dalam proses pembangunan rumahnya. Bisa jadi mengakibatkan tukang yang mengerjakannya celaka, dan lain sebagainya.Sedangkan upacara menaiki rumah dilakukan supaya rumah yang akan ditinggali tersebut membawa keberuntungan bagi penghuni rumah di masa depannya.Kepercayaan masyarakat Minangkabau terhadap hal-hal mistis tersebut menjadikan upacara-upacara pendirian rumah masih dilakukan. Hal ini berguna bagi kelangsungan adat istiadat yang sudah turun temurun dilakukan oleh masyarakat Minangkabau sebelumnya. Pelaksanaan upacara dilakukan di setiap proses pembangunan kecuali pada proses persolekan. Pada proses pertapakan, perangkaan, dan persungkupan, dilakukan upacara karena proses ini merupakan proses utama dalam pendirian sebuah bangunan. Sedangkan proses persolekan hanyalah sebuah proses finishing, jadi bukan proses pendirian bangunan. Sehingga upacara tidak diperlukan pada proses ini.
v  TRANSITION, HIERARCHY, HEART

Mengalami sebuah arsitektur melibatkan suatu pergerakan. Seseorang melewati dari luar ke dalam, atau melalui beberapa rute tingkatan. Seseorang bisa saja berpikir sebuah tempat sebagai tempat pemberhentian. Hal ini bisa disebut sebagai tempat yang statis. Tetapi sebuah jalan yang diambil oleh seseorang dari satu tempat statis ke tempat statis lain disebut tempat juga. Hal ini bisa disebut sebagai tempat dinamis. Karakteristik dari tempat statis bisa dipengaruhi oleh tempat dinamis yang mengarah padanya. Dan karakteristik dari tempat dinamis bisa dipengaruhi oleh tempat statis ke mana dia mengarah. Transisi membentuk bagian dari pengalaman berarsitektur. Sebuah pintu dari rumah merupakan batas antara dunia publik dan dunia private. Tempat-tempat transisi penting sebagai cara tempat statis berhubungan satu sama lain. Seringkali terdapat sekuen, atau hirarki tingkatan antara satu tempat statis dan yang lainnya. Biasanya hirarki ini memuncak pada pusat arsitektur yang disebut sebagai jantung (heart) (Unwin, 1997).
ü  Trantition

Yang berfungsi sebagai transisi pada suatu bangunan adalah penghubung dua tempat, dalam hal ini adalah pintu. Pintu adalah sesuatu yang kita lalui untuk berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain; dan jendela adalah sesuatu yang membuat kita bisa melihat ke luar ruangan dan yang menyebabkan cahaya dan udara dapat masuk ke ruangan (Unwin, 1997). Semua jendela dan pintu dalam rumah Gadang disebut dengan pintu. Pintu Badan Rumah Gadang adalah jendela, sedangkan pintu masuk Rumah Gadang adalah yang terdapat pada anjuang. Jadi ada dua pintu menurut istilah orang Minangkabau, yaitu pintu di badan rumah dan pintu untuk masuk ke rumah (Syamsidar, 1991).  Letak pintu adalah pada badan rumah gadang bagian muka dan samping kiri kanan. Kalau kita melihat dinding bagian belakang Rumah Gadang maka kita melihat dinding terbuat dari sasak (sasak). Jumlah jendela pada Rumah Gadang tergantung pada jumlah ruangan.
Pintu pada Rumah Gadang yang berfungsi sebagai transisi adalah satu pintu yang terdapat di depan bangunan di depan tangga masuk. Pintu ini menghubungkan dunia luar dengan dunia di dalam Rumah Gadang atau bisa dikatakan bahwa pintu ini merupakan penghubung antara dua tempat statis. Seseorang yang ingin mengalami kehidupan di dalam Rumah Gadang harus melalui pintu ini terlebih dahulu.
ü  Hierarchy
                Hirarki dalam arsitektur adalah sebuah rangkaian atau rute tingkatan yang dialami dalam sebuah arsitektur. Dalam mengalami suatu hirarki, seseorang harus melalui sebuah jalan/path. Sebuah path bisa berupa ramp atau tangga (Unwin, 1997).
Pada umumnya Rumah Gadang mempunyai satu tangga yang terletak di bagian depan. Rumah Gadang Rajo Babandiang di Luhak Limopuluhan Kota letak tangganya di belakang. Sedangkan Rumah Gadang Surambi Papek dari Luhak Agam letak tangganya di samping sebelah kiri menghadap ke depan. Akan tetapi Rumah Gadang Gajah Maharam atau Si Tinjau Lauik atau Rumah Baanjuang tipe Koto Piliang mempunyai tangga di depan dan belakang yang letaknya di tengah. Dapur dibangun terpisah pada bagian belakang rumah yang didempet pada dinding. Pada Rumah Gadang Rajo Babandiang tangganya terletak pada antara bagian dapur dan rumah. Sedangkan pada Rumah Gadang Surambi Papek dapur dibangun terpisah oleh jalan keluar masuk melalui tangga rumah (Syamsidar, 1991). Untuk masuk ke dalam Rumah Gadang, maka seseorang harus melalui tangga ini terlebih dahulu. Ini merupakan satu-satunya jalan masuk ke dalam Rumah Gadang. Setelah itu akan dialami tingkatan ruang-ruang di dalam Rumah Gadang.
Rumah Gadang terbagi atas bagian-bagian yang masing-masingnya mempunyai fungsi khusus. Seluruh bagian merupakan ruangan lepas kecuali biliek( kamar tidur ). Bagian dalam terbagi atas lanjar dan ruang-ruang ditandai oleh tiang. Tiang tersebut berbanjar dari muka ke belakang dan dari kiri ke kanan. Tiang yang berbanjar dari depan ke belakang menandai lanjar, sedangkan tiang dari kiri ke kanan menandai ruang. Jumlah lajur tergantung pada besar rumah, biasanya 3, 5, dan 7. Ruangnya terdiri dari jumlah yang ganjil antara 3 sampai dengan 9.
Lanjar yang terletak pada bagian dinding sebelah belakang yang disebut didieh belakang atau Bandua biasanya digunakan untuk kamar-kamar. Jumlah kamar tergantung kepada perempuan yang tinggal di dalamnya atau besarnya lanjar yang ada. Kamar tersebut umumnya kecil, sekedar termuat sebuah tempat tidur, lemari atau peti dan sedikit ruangan untuk bergerak. Kamar-kamar digunakan untuk tidur dan berganti pakaian saja, dan tak mungkin digunakan untuk keperluan lain, karena keperluan lain harus digunakan pada ruangan atau tempat yang terbuka. Atau dapat diartikan bahwa dalam kehidupan yang komunalistis, tidak ada suatu tempat untuk menyendiri yang memberikan kesempatan pengembangan pada kehidupan yang individual. Kamar untuk para gadis ialah pada bagian ujung kanan jika orang menghadap ke bagian belakang. Kamar yang di ujung kiri biasanya digunakan oleh penganten baru atau pasangan suami istri yang paling muda. Meletakkan mereka di sana agar bisa terhindar dari hingar bingar kesibukan dalam rumah. Kalau rumah mempunyai anjuang, maka anjuang sebelah kanan merupakan kamar para gadis. Sedangkan anjuang sebelah kiri digunakan sebagai tempat kehormatan bagi penghulu pada waktu dilangsungkan berbagai upacara adat. Pada hari-hari biasa, anjungan bagian kiri digunakan untuk meletakkan peti-peti penyimpanan barang berharga milik kaum.  
Lanjar kedua merupakan bagian yang digunakan sebagai previlasi dari para penghuni kamar. Seperti tempat mereka makan, tempat mereka menanti tamu masing-masing. Luasnya seluas Lanjar kali satu ruang yang berada tepat di hadapan kamar mereka. Lanjar ketiga merupakan lanjar tengah pada rumah berlanjar tiga. Sebagai lanjar tengah, ia digunakan untuk tempat menanti tamu dari masing-masing penghuni kamar yang berada di ruang itu. Kalau tamu itu dijamu makan, di sanalah mereka ditempatkan. Tamu akan makan bersama dengan penghuni kamar serta ditemani seorang dua perempuan tua yang memimpin rumah tangga tersebut. Perempuan lain yang menjadi ahli rumah tidak ikut makan. Mereka hanya duduk-duduk di lajur kedua menemani dengan senda gurau. Kalau di antara tamu ada laki-laki, maka mereka didudukkan di sebelah bagian dinding depannya, Sedangkan ahli rumah laki-laki yang menemaninya di bagian pangkal rumah. Pengertian ujung rumah di sini ialah di kedua ujung ke ujung rumah.
              Pangkal rumah adalah di bagian tengah, sesuai dengan letak tiang tua, yang lazimnya merupakan tiang yang paling tengah. Lanjar tepi, yaitu yang terletak di bagian depan dinding depan. Merupakan lanjar terhormat yang lazimnya digunakan sebagai tempat tamu laki-laki bila diadakan perjamuan (Syamsidar, 1991). Rumah Gadang pada umumya terdiri dari tiga ruang sampai sebelas ruang. Fungsinya selain untuk menentukan batas kamar tidur dengan wilayahnya, maka pada prinsipnya terdiri dari tiga bagian. Yakni bagian tengah, bagian kiri, dan bagian kanan. Apabila Rumah Gadang itu memiliki tangga di tengah bagi yang terletak di belakang maupun di depan. Bagian tengah digunakan untuk tempat jalan dari muka ke belakang. Bagian sebelah kiri atau kanan digunakan sebagai tempat duduk atau makan, baik pada waktu sehari-hari ataupun pada waktu diadakan perjamuan atau bertamu. Pada Rumah Gadang Serambi Papek yang tangganya di sebelah sisi rumah, maka ruangannya terbagi dua, yakni ruang ujung dan ruang pangka (pangka=pangkal). Dalam bertamu atau perjamuan ruang di ujung tempat tamu, sedang ruang di pangkal tempat ahli rumah beserta kerabatnya yang menjadi pangkal (tuan rumah) (Syamsidar, 1991). Dari fungsi-fungsi ruang yang disebutkan di atas, dapat dilihat adanya hirarki dalam penyusunan ruang-ruang tersebut. Hirarkinya dapat dilihat dari penting tidaknya ruang tersebut dalam kaitannya dengan fungsi ruang terhadap penghuninya. Juga dapat dilihat berdasarkan fungsi publik - private. Lanjar belakang – lanjar kedua – lanjar ketiga – lanjar tengah – lanjar tepi merupakan urutan private – semi private – semi publik – semi publik – publik. Ini adalah hirarki dalam Rumah Gadang yang dilihat dari fungsi publik-private. Selain itu, hirarki dalam Rumah Gadang juga berdasarkan siklus kehidupan wanita, dan membentuk perjalanan dari pusat menuju ke anjuang, kemudian biliak, dan terakhir dapur (http://cyclops.prod.untd.com). Pada masyarakat Minang yang matrilineal, suami hidup di rumah istri, dan secara tradisional, anjuang merupakan tempat tinggal banyak anak perempuan yang baru menikah dan suaminya tinggal. Wanita lain yang sudah menikah dan pasangannya menempati bilik atau biliak, di belakang rumah. Setiap gadis yang menikah pindah ke anjuang, sementara wanita yang sudah menikah lainnya pindah bergeser satu ruangan ke arah dapur. Idealnya, wanita tertua di rumah harus tidur di biliak sebelah dapur. Jika tidak ada biliak kosong untuk ditempati, ia pindah ke ruangan yang disebut pangkalan (tiang pusat) melambangkan kedudukannya sebagai wanita tua (Tjahjono, 2002).
ü  Heart

          Heart merupakan puncak dari susunan Hirarki yang terdapat dalam bangunan. Heart bisa juga diartikan sebagai fokus dalam arsitektur. Dalam arsitektur, fokus bisa berarti elemen manapun yang merupakan pusat atau inti. Bisa saja berupa fireplace, tapi mungkin juga berupa altar, bahkan gunung yang jauh (Unwin, 1997).
Dalam susunan ruang pada Rumah Gadang, ada satu ruang yang ditinggikan, disebut anjuang. Di masyarakat Minang yang matrilineal, suami hidup di rumah istri, dan secara tradisional anjuang merupakan tempat tinggal anak perempuan yang baru menikah bersama suaminya. Sebagai kehidupan wanita yang masih gadis, anjuang merupakan puncak, karena di sinilah tempat mereka bila mereka sudah menikah. Namun untuk pasangan yang menikah lebih lama, anjuang hanyalah sebuah titik awal. Puncaknya berada pada pangkalan.
v  FAKTOR DAN UNSUR ALAM DALAM ARSITEKTUR

Dalam perspektif arsiektur lingkungan, pengetahuan arsitektur sebaiknya meliputi pengetahuan yang terukur dan tidak terukur tentang arsitektur. Pengetahuan yang terukur yaitu pengetahuan tentang bangunan, kenyamanan, keefisiensian dan keefektifan bangunan, serta hal-hal yang bersifat referensial. Sedangkan pengetahuan yang tidak terukur antara lain arsitektur, kesenangan dan kepuasan, makna, serta hal-hal yang bersifat simbolis. Kenyamanan merupakan standart bangunan, sedangkan kenikmatan bukanlah sebuah standart, hal ini berhubungan dengan manusia yang menempati dan mengalami bangunannya. Sudut pandang arsitektur nusantara merupakan sudut pandang pengetahuan arsitektur. Hal ini berbeda dengan arsitektur tradisional. Dalam arsitektur tradisional, sudut pandang yang digunakan berasal dari pengetahuan antropologi Dalam pengetahuan antropologi, lingkung bina atau arsitektur digunakan oleh manusia untuk mengekspresikan diri. Sedangkan dalam pengetahuan arsitektur, manusia dan budaya dibawa demi terciptanya lingkung bina atau arsitektur. Lingkung bina dapat menjadi arsitektur dengan melihat kemampuannya dalam mempengaruhi manusia dan kesempatannya dalam memanfaatkan iklim. Faktor yang mempengaruhi arsitektur antara lain: angin, kelembaban, temperatur udara, curah hujan, panas matahari, dan lain sebagainya. Sedangkan unsur yang mempengaruhi faktor-faktor tersebut adalah dinding, bukaan, sosoran, dan lain sebagainya (Dinapradipta, 2006).
Sebagai Arsitektur Nusantara, Rumah Gadang memperhatikan iklim tropis tempat mereka berdiri. Seperti masyarakat tradisional yang lain, masyarakat Minangkabau memanfaatkan alam dan iklim demi menciptakan kenyamanan dalam lingkungan tempat tinggal mereka. Hal ini tercermin dalam desain rumah tinggalnya.
Bangunan dinding Rumah Gadang membesar ke atap yang disebut dengan silek. Ini berguna pada saat musim hujan, mengingat iklim di Indonesia mempunyai curah hujan yang tinggi. Dinding yang berbentuk seperti ini berfungsi untuk membebaskan bangunan dari terpaan air hujan. Atapnya yang lancip berguna untuk membebaskan endapan air pada ijuk yang berlapis-lapis. Air hujan yang bagaimana pun lebatnya, akan meluncur cepat pada atapnya.
 Kolong Rumah Gadang dibuat tinggi untuk memberikan hawa yang segar, terutama pada musim panas, Di samping itu agar lebih aman dalam menghadapi bahaya banjir. Hal yang tak kalah pentingnya dari segi arsitekturnya, adalah tiang-tiang Rumah Gadang yang tidak ditanam ke dalam tanah. Tiang-tiang ini hanya diletakkan di atas batu layah.
Untuk menghubungkan tiang-tiang dan bagian rumah tidak digunakan paku, melainkan pasak dari bambu. Kondisi ini membuat rumah gadang relatif tahan terhadap goncangan gempa ataupun angin kencang (Yurnaldi, 2000). Kebanyakan material yang digunakan adalah kayu, jadi musuh utama rumah gadang adalah api (Irwan).
Rumah Gadang yang dibangun berjajar menurut arah mata angin dari Utara ke Selatan berguna membebaskannya dari panggang matahari serta hembusan angin yang keras. Tetapi jika dilihat dari kegunaannya, garis-garis Rumah Gadang menunjukkan penyesuaian dengan alam tropis.
Dari penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa Rumah Gadang memiliki kemampuan dalam beradaptasi dengan alam dan iklim setempat. Sehingga tinggal di Rumah Gadang dapat merasakan kenyamanan tinggal di iklim tropis. Rumah tempat tinggal Minangkabau disebut sebagai Rumah Gadang (Rumah Besar/Rumah Buranjang).
Dikatakan Gadang (besar) bukan karena fisiknya yang besar melainkan karena fungsinya selain sebagai tempat kediaman keluarga, Rumah Gadang merupakan perlambang kehadiran satu kaum dalam satu nagari1, serta sebagai pusat kehidupan dan kerukunan seperti tempat bermufakat keluarga kaum dan melaksanakan upacara. Bahkan sebagai tempat merawat anggota keluarga yang sakit.
Ditinjau dari bentuk, ukuran, serta gaya pemerintahan Kelarasan dan Gaya Luhak, Rumah Gadang mempunyai nama yang beraneka ragam. Menurut Gaya Kelarasan aliran Koto Piliang, bentuk Rumah Gadangnya diberi nama Garudo Tabang , karena di kedua ujung rumah diberi beranjang (gonjong). Sedangkan Rumah Gadang dari Kelarasan Bodi Caniago lazimnya disebut Garudo Menyusukan Anak. Bangunan tidak beranjung atau berserambi pada bagian kiri dan kanan bangunan, tetapi pada bagian ujung kiri dan kanan di bawah gonjong diberi beratap (emper) yang merupakan sayap burung yang sedang mengerami anaknya.
Jika menurut Gaya Luhak, masing-masing Luhak mepunyai gaya dan namanya sendiri. Rumah Gadang yang merupakan kepunyaan dari Kaum Penghulu Pucuk di Luhak Tanah Datar dinamakan Gajah Maharam (Gajah tidur) karena besarnya. Sedangkan modelnya Rumah Baanjuang karena Luhak tersebut menganut aliran kelahiran Koto(Gabungan dari beberapa buah dusun)  Piliang.
Rumah Gadang Luhak Agam merupakan kepunyaan Kaum Penghulu Andiko (yang memerintah) dinamakan Serambi Papek (Serambi Pepat) yang bentuknya bagai dipepat pada bagian kedua ujung bangunannya. Sedangkan modelnya adalah Rumah Gadang di bawah gonjong pada kedua ujungnya diberi ber emper dengan atap, karena Luhak tersebut menganut Kelarasan Bodi Coniago.
Rumah Gadang Luhak Limopuluh Koto disebut dengan Rajo Babandiang(Raja berbanding) yang bentuknya seperti rumah di Luhak Tanah Datar yang tidak mempunyai dan memakai Anjuang pada kedua ujung bangunan atau tidak mempunyai lantai yang ditinggikan pada kedua ujung bangunannya.

 


BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Arsitektur Nusantara Minangkabau mengalami semua proses dalam membangun arsitektur seperti yang disebutkan oleh Josef Prijotomo, 1995, yaitu Proses Pertapakan, Perangkaan, Persungkupan, dan Persolekan. Proses pertapakan adalah berkaitan dengan pencarian tapak yang tepat dalam pembangunan rumahnya, kemudian pencarian bahan bangunannya, sampai dengan pembersihan tapaknya. Proses berikutnya adalah proses perangkaan, yaitu pemasangan tiang-tiang yang disusun berdasarkan ruang-ruang dalam Rumah Gadang. Kemudian adalah prosesPersungkupan. Proses ini agak berbeda dengan bangunan yang lain, karena pemasangannya diawali dengan penutupan atap terlebih dahulu, kemudian lantai, dan yang terakhir adalah dinding. Proses terakhir adalah proses persolekan, yaitu pemberian ukiran di seluruh elemen bangunannya. Dalam melakukan proses membangun tersebut, masyarakat Minangkabau tidak melupakan keharusan yang sudah ditetapkan oleh adat istiadat Minangkabau sebelumnya, yaitu pelaksanaan upacara. Dengan pelaksanaan upacara ini, mereka percaya dalam pembangunannya tidak akan terjadi bencana, dan dalam penempatannya akan membawa keberuntungan bagi penghuninya. Upacara ini dapat melestarikan adat istiadat Minangkabau.
Hirarki juga terdapat dalam penataan ruang-ruang dalam Rumah Gadang. Hirarki yang digunakan ada 2, yaitu berdasarkan fungsi publik-private, dan berdasarkan siklus kehidupan wanita, mengingat masyarakat Minangkabau adalah masyarakat yang matrilineal. Yang berdasarkan fungsi publik-private, hirarkinya adalah Lanjar belakang – lanjar kedua – lanjar ketiga – lanjar tengah – lanjar tepi. Sedangkan yang berdasarkan siklus kehidupan wanita hirarkinya adalah dari pusat menuju ke anjuang, kemudian biliak, dan terakhir dapur.
Rumah Gadang merupakan arsitektur yang memanfaatkan iklim dalam usahanya untuk menciptakan kenyamanan bagi penghuninya. Dalam hal ini, Rumah Gadang cocok ditampatkan di iklim tropis. Hal ini terlihat dari bentuk bangunannya yang memperhatikan curah hujan dan penghawaan.

3.2. Saran

Ø  Kami selaku penyusun makalah menyarankan kepada para pembaca ssekalian kiranya dapat bersifat kritis yang bersifat membangun demi pengembangan makalah ini dalam mencapai kesempurnaanya kedepan sesuai yang kita harapkan bersama. Amin.
Ø  Besar harapan kami agar kiranya makalah yang kami susun ini dapat menjadi konstribusi bagi para pembaca sekalian.



DAFTAR PUSTAKA



Dinapradipta, Asri. 2006. Materi Perkuliahan Arsitektur Nusantara. Surabaya: Pascasarjana Arsitektur ITS
http://cyclops.prod.untd.com
Irwan. ___. History of Rumah Gadang. www.kangguru.org
Tjahjono, Gunawan. 2002. Indonesian Heritage, Arsitektur. Jakarta: Buku Antara Bangsa
Minarsih. 1998. Korelasi Antara Motif Hias Songket Dan Ukiran Kayu Di Propinsi Sumatera Barat (Studi Kasus Daerah Pandai Sikek, Silungkang Dan Kubang). http://digilib.itb.ac.id
www. Google. 2010. Ragam Rumah Gadang Minangkabau « Paco Paco.htm
www. Google. 2010 .WIKIPEDIA Rumah_Gadang.htm
www. Google. 2010 /scorchys blog.htm
www. Google. 2010. Blog Minangkabau News.Com(BMN.Com)|
www. Google. 2010. BLOGNYA URANG AWAK macam-macam-rumah-gadang.html
www. Google. 2010. kita-punya-rumah-gadang-yang-tahan-gempa.html






 








 






           



















 














   





.







.


.

.



.

.













)




.
2.1 Arsitektur Nusantara Minangkabau
.






















Charles fred







































2 Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar